Dialektika sejarah Indonesia modern memberikan banyak penilaian yang berbeda tentang Pancasila. Pemahaman altruistic dan pesimistik timbul tenggelam dalam bingkai konstruksi pemikiran para pakar yang ikut dalam arus politik zaman. Sebagai ideologi negara, Pancasila yang pada awalnya dikonstruksikan sebagai ideologi tertutup telah berkembang menjadi ideologi terbuka yang dapat menyerap dan beradaptasi dalam berbagai keadaan.
Perkembangan ini tampaknya masih bersifat sloganistik ketimbang realistik karena tidak diikuti dengan elaborasi dan implementasi yang memadai. Hal inilah yang menimbulkan kegamangan dalam mengantisipasi perubahan kehidupan sosial politik, budaya hingga perangkat hukum yang semestinya didasarkan pada nilai-nilai ideal Pancasila. Diperlukan pemahaman yang tepat bagi penjabaran ideologi Pancasila yang lebih dinamis dan adaptif terhadap disrupsi yang terjadi secara massive di berbagai belahan dunia pasca pandemi covid 19.
Sebagai ideologi yang menuntun imajinasi kehidupan sosial yang adil dan Makmur, eksistensi Pancasila masih memerlukan verstehen dan pelaksanaan yang konkrit sebagai bintang penuntun (leitstar dinamis). Idealisasi Pancasila sebagai alat ukur sosial politik menuntut implementasi yang konkrit sebagai bagian dari instrumen kebijakan publik.
Masih banyak tersisa pertanyaan tentang bagaimana mendudukkan dan memfungsikan Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari. Terkait dengan adanya kehidupan sosial yang berubah dalam era milineal pasca wabah covid 19 ini, ada beragam pertanyaan yang penting untuk dijawab oleh masyarakat luas tentang keberfungsian Pancasila.
Kehidupan sosial umat manusia diberbagai negara diprediksi akan mengalami keadaan "new normal" yang harus diantisipasi dalam konteks lokalitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Â Tatanan "new normal" ini tidak hanya dalam bentuk adaptasi sementara karena keberadaan virus covid 19, melainkan lahirnya "tatanan norma baru" yang dianggap sebagai bentuk kenormalan baru.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari efek domino pandemi terhadap kehidupan sosial budaya warga negara di seluruh dunia. Tatanan norma baru ini akan menjadi ciri 'nasionalisme baru' yang menjadi tantangan bagi keberadaan ideologi negara yang cendrung dianggap jumud. Ideologi saat ini dianggap tidak dapat menjawab banyak persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negara.
Ada tiga hal penting yang akan diuraikan dalam tulisan singkat ini berkenaan dengan antisipasi ideologi Pancasila terhadap situasi "new normal" yang pasti akan terjadi. Â Pertama, bagaimana sebenarnya konstruksi kehidupan sosial bernegara terkait bencana nasional yang terjadi? Â Â Kedua, apa yang dimaksud dengan tatanan new normal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dijalani oleh warga dunia? Â Ketiga, Â bagaimana perspektif Pancasila tentang tatanan kehidupan 'new norma' pasca covid 19? Ketiga hal inilah yang coba dielaborasi dalam konteks eksistensi Pancasila.
Keselamatan Rakyat atau Negara?
Kebijakan publik dalam kehidupan sosial bernegara seringkali tiba pada pilihan-pilihan politik yang dilematis. Pilihan-pilihan langkah politik ini sudah semestinya disandarkan pada tuntunan nilai-nilai yang dikandung oleh ideologi negara. Pada tataran inilah Pancasila diperlukan sebagai takaran aksiologis dalam menyikapi keadaan yang kompleks terkait bencana sosial yang meliputi ragam kepentingan.
Dalam konteks implementasi, sudah semestinya pilihan kebijakan publik yang diproduksi oleh pemerintah adalah derivasi dari norma-norma yang merupakan manifestasi dari Pancasila. Diperlukan ketajaman orientasi dalam memilih kebijakan publik yang fit and proper dengan situasi sosial terkait terjadinya bencana dan ketidakpastian yang mengikutinya.
Keselamatan rakyat dari kematian karena virus corona jelas merupakan pilihan utama ketimbang tetap menjalankan roda ekonomi dan business as usual. Rakyat adalah unsur negara yang esensial. Tanpa rakyat tidak diperlukan sebuah negara. Baik wilayah maupun pemerintahan diabdikan untuk kepentingan rakyat.
Kepentingan keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi mendahului kebijakan hukum lainnya (Salus populi suprema lex esto). Dalam konteks inilah pilihan kebijakan untuk keselamatan rakyat lebih dipentingkan dari kebijakan pemulihan ekonomi. Hal ini bukan berarti pemulihan ekonomi negara tidak penting dan harus diabaikan. Tentu saja pemulihan dan pertahanan ekonomi yang menopang eksistensi negara mutlak diperlukan. Namun demikian, prioritas keselamatan jiwa warga negara harus lebih dipentingkan karena negara memiliki kewajiban asasi manusia untuk mengambil langkah-langkah kebijakan yang mampu menyelamatkan kehidupan rakyatnya.
Pilihan kebijakan untuk menghentikan aktivitas kehidupan ekonomi demi menjaga keselamatan rakyat adalah pilihan yang tepat dalam perspektif Pancasila. Pilihan kebijakan ini merupakan langkah kemanusiaan yang harus diambil walaupun negara harus menanggung beban untuk membiayai kehidupan rakyat karena penghentian kegiatan ekonomi. Hal ini tentunya cukup dilematis, ketidakmampuan keuangan negara berhadapan dengan situasi penyelamatan jiwa rakyat yang masih dihantui ancaman kematian massal akibat virus corona.
Kapasitas keuangan negara untuk menjamin sementara kehidupan rakyat merupakan batu uji bagi pemerintahan. Jika kapasitas ini tinggi dan memiliki kapabilitas yang memberikan rasa aman bagi rakyat maka hal ini menunjukkan adanya prestasi bagi suatu pemerintahan. Sebaliknya, ketidakmampuan keuangan negara untuk menjamin keselamatan rakyat merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam menjaga eksistensi negara.
Kegagalan inilah yang ditakuti oleh pemerintah sehingga ingin segera melompat untuk melakukan pemulihan ekonomi dengan melepaskan tanggungan biaya yang terus membebani keuangan pemerintah negara. Tanpa kegiatan ekonomi dan pemasukan pajak yang signifikan, kapasitas keuangan pemerintah dalam mengelola negara akan mengalamai stagnasi menuju krisis ekonomi yang diikuti oleh krisis politik yang mengancam kehidupan negara.
Tatanan Dunia Baru (New World Order)
Hal yang dimaksud dengan tatanan new normal bagi kehidupan seluruh warga dunia adalah lahirnya norma atau kaidah baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap kehidupan yang masih diliputi ancaman virus yang belum pasti berakhirnya. Tatanan norma atau kaidah baru ini sebagai bentuk antisipasi permanen terhadap permanensi virus yang disadari menjadi bagian dari kehidupan baru umat manusia.
Kesadaran untuk hidup berdampingan dengan virus ini melahirkan norma baru kesehatan atau standard operating procedure yang ketat serta kesadaran baru umat manusia untuk meningkatkan imunitasnya sebagai mahluk yang sempurna dibandingkan dengan mahluk yang lain. Tatanan new normal memiliki konsekuensi logis adanya tatanan new norms (norma atau kaidah-kaidah baru).
Tuntutan adaptasi ini memperkuat eksistensi manusia untuk berhadapan head to head dengan ancaman virus namun dengan tetap dapat mengendalikannya sebagai keadaan biasa. Hal ini menunjukkan kemampuan ras manusia sebagai khalifah pengendali bumi dan mematahkan perlawanan alam yang mengancam kepunahannya.
Efek sosial lainnya yang terjadi adalah adanya norma baru dalam dunia pendidikan. Pembelajaran jarak jauh menggunakan teknologi informasi menjadikan transformasi pengetahuan yang membawa akumulasi 'iptek' menjadi lebih cepat dan efisien. Demikian pula dalam bidang budaya, budaya bisnis, pembiayaan, dan pemesanan via elektronik menjadi lebih lugas dan semakin lumrah untuk dilaksanakan secara meluas.
Digitalisasi kehidupan sosial budaya tentu saja memiliki implikasi hilangnya ruh dan nilai-nilai luhur yang pada era 'old normal' masih dapat dikendalikan oleh ideologi. Kepentingan pragmatis dan ego individualism semakin akan menonjol dan mengesampingkan semangat gotong royong dan kekeluargaan untuk menyelamatkan kemanusiaan. Hal inilah yang menjadi pertanyaan penting, mampukah ideologi Pancasila tetap menjadi penuntun bagi tatanan 'new normal' yang mau tidak mau hadir dalam lintasan hidup warga negara pasca pandemi covid 19?
Perspektif Pancasila
Perspektif Pancasila tentang tata kehidupan 'new normal' pasca covid 19 tentunya perlu dijelaskan. Apabila kita memaknai bencana pandemi ini dari spektrum nilai-nilai Pancasila, maka kita dapat mengupasnya dalam perspektif aksiologis ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan.
Dalam konteks sila pertama, peristiwa bencana global ini tentunya merupakan momentum refleksi dan sekaligus merupakan medium memahami secara mendalam relasi manusia, Tuhan dan alam semesta. Tuhan yang Maha Esa menegaskan kekuasaannya atas umat manusia dan alam semesta yang diciptakannya. Kehadiran virus corona ini tidak lepas dari kendali kekuasaan Tuhan untuk menguji umat manusia dan melakukan judgment terhadap perilaku manusia yang telah merusak keseimbangan tatanan kehidupan.
Sebagai warga bangsa yang meyakini adanya peran Tuhan dalam segenap relung kehidupan, sudah sepatutnya bangsa Indonesia memandang peristiwa bencana global ini sebagai upaya Tuhan untuk menetapkan tatanan keseimbangan baru bagi kelangsungan kehidupan semesta yang sudah semakin parah dan terkuras. Tuhan menginginkan adanya kemanusiaan yang adil dan beradab. Adanya tatanan yang menghargai dan melakukan konservasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai etika lingkungan (environmental ethics) sebagai bentuk penyeimbang bagi ekosistem dan habitat hidup manusia yang telah rusak oleh dirinya sendiri.
Dalam perspektif sila kedua, bencana ini juga mengisyaratkan pentingnya kemanusiaan yang adil itu bertumpu pada kewajiban asasi manusia. Sudah semestinya setiap manusia sebagai warganegara juga menyadari dirinya sebagai warga dunia, yaitu warga yang menyadari adanya kewajiban asasi untuk menjaga kelestarian nilai-nilai kemanusiaan dan pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.
Pentingnya menekankan adanya kewajiban asasi manusia melebihi adanya tuntutan hak-hak asasi manusia kiranya perlu terus didengungkan. Penyelamatan kemanusiaan di tingkat lokal merupakan bagian dari penyelamatan kemanusiaan di tingkat global. Dalam perspektif sila ketiga, bencana ini juga mengisyaratkan pentingnya persatuan dari seluruh warganegara untuk menghadapi musuh bersama yang senantiasa terus dapat bermutasi dan mengancam kehidupan umat manusia.
Persatuan dan kedisiplinan untuk memutus rantai penyebaran virus menjadi kewajiban bersama. Persatuan menentukan keselamatan. Persatuan menentukan eksistensi.
Eksistensi rakyat sebagai warga yang selamat ditentukan oleh kebersatuan rakyat dalam melawan musuh bersama yang bernama corona. Dalam tatanan new normal, musuh ini berada dalam selimut kehidupan kita. Ketangguhan kita dalam menghadapi musuh dalam selimut harus diwujudkan dalam kesatuan dan kedisiplinan sosial yang menyeluruh.
Dalam perspektif sila ke empat, tatanan new normal ini akan menuju tatanan demokrasi baru. Demokrasi kita tidak lagi dalam tataran old normal, melainkan masuk ke dalam era new norma yang mensyaratkan hikmat kebijaksanaan. Manusia dituntut untuk mengambil hikmah dan tindakan yang bijak dalam menyikapi kehadiran musuh bersama.Â
Penyelenggara negara dan warga negara sebagai bagian dari warga dunia dituntut untuk meletakkan substansi kemanusiaan dan keselamatan lingkungan alam semesta dalam tata kelola pemerintahan yang adil dan beradab. Hal ini harus diupayakan sebagai bentuk pencarian keseimbangan baru peran Tuhan, alam dan manusia. Bahwa kebaikan dan keindahan itu hanya dapat terwujud dalam keseimbangan yang dimanifestasikan dalam skala yang luas. Termasuk mewujudkan keadilan sosial adalah upaya kemanusiaan untuk menciptakan kehidupan yang damai dan penuh dengan nilai-nilai kebaikan.
Dalam konteks ini ideologi negara Pancasila yang memuat nilai-nilai esensial kehidupan yang seimbang memerlukan elaborasi yang konkrit dalam bentuk instrumen kebijakan publik.
Pancasila tetap dapat menjadi bintang pemandu norma dalam tatanan kehidupan baru setelah wabah covid 19 berlalu. Hal ini tentu saja bukan tanpa alasan. Nilai-nilai Pancasila bergerak adaptif dan transformatif dari tatanan 'old normal' Â menuju 'new normal.' Â Pergeseran tatanan ini senantiasa membutuhkan pegangan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, dan keadilan dalam mewujudkan keseimbangan kehidupan umat manusia. Tanpa nilai-nilai ketuhanan, kehidupan kemanusiaan umat manusia akan kering dari keikhlasan bertindak untuk kebaikan.
Tanpa nilai-nilai kemanusiaan, kehidupan kesatuan dalam suatu negara hanya mementingkan keselamatan dirinya sendiri dalam chauvinism dan nasionalisme yang sempit.
Tanpa konsolidasi dalam kesatuan bangsa sebagai elemen eksistensial, prosedur demokrasi hanya akan menjadi kancah perebutan kekuasasan yang mengabaikan persatuan hidup warga bangsa.
Tanpa demokrasi yang mengutamakan kepentingan kerakyatan (res publica), pencapaian keadilan sosial hanya merupakan angan-angan semu. Pada tataran inilah signifikansi Pancasila sebagai bintang pemandu dan platform hidup bersama dalam sebuah negara menjadi kebutuhan eksistensial umat manusia.
Hendra Nurtjahjo
Ketua Pusat Studi Pancasila - Universitas Pancasila
Dosen Ilmu Negara di Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H