Kepentingan keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi mendahului kebijakan hukum lainnya (Salus populi suprema lex esto). Dalam konteks inilah pilihan kebijakan untuk keselamatan rakyat lebih dipentingkan dari kebijakan pemulihan ekonomi. Hal ini bukan berarti pemulihan ekonomi negara tidak penting dan harus diabaikan. Tentu saja pemulihan dan pertahanan ekonomi yang menopang eksistensi negara mutlak diperlukan. Namun demikian, prioritas keselamatan jiwa warga negara harus lebih dipentingkan karena negara memiliki kewajiban asasi manusia untuk mengambil langkah-langkah kebijakan yang mampu menyelamatkan kehidupan rakyatnya.
Pilihan kebijakan untuk menghentikan aktivitas kehidupan ekonomi demi menjaga keselamatan rakyat adalah pilihan yang tepat dalam perspektif Pancasila. Pilihan kebijakan ini merupakan langkah kemanusiaan yang harus diambil walaupun negara harus menanggung beban untuk membiayai kehidupan rakyat karena penghentian kegiatan ekonomi. Hal ini tentunya cukup dilematis, ketidakmampuan keuangan negara berhadapan dengan situasi penyelamatan jiwa rakyat yang masih dihantui ancaman kematian massal akibat virus corona.
Kapasitas keuangan negara untuk menjamin sementara kehidupan rakyat merupakan batu uji bagi pemerintahan. Jika kapasitas ini tinggi dan memiliki kapabilitas yang memberikan rasa aman bagi rakyat maka hal ini menunjukkan adanya prestasi bagi suatu pemerintahan. Sebaliknya, ketidakmampuan keuangan negara untuk menjamin keselamatan rakyat merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam menjaga eksistensi negara.
Kegagalan inilah yang ditakuti oleh pemerintah sehingga ingin segera melompat untuk melakukan pemulihan ekonomi dengan melepaskan tanggungan biaya yang terus membebani keuangan pemerintah negara. Tanpa kegiatan ekonomi dan pemasukan pajak yang signifikan, kapasitas keuangan pemerintah dalam mengelola negara akan mengalamai stagnasi menuju krisis ekonomi yang diikuti oleh krisis politik yang mengancam kehidupan negara.
Tatanan Dunia Baru (New World Order)
Hal yang dimaksud dengan tatanan new normal bagi kehidupan seluruh warga dunia adalah lahirnya norma atau kaidah baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap kehidupan yang masih diliputi ancaman virus yang belum pasti berakhirnya. Tatanan norma atau kaidah baru ini sebagai bentuk antisipasi permanen terhadap permanensi virus yang disadari menjadi bagian dari kehidupan baru umat manusia.
Kesadaran untuk hidup berdampingan dengan virus ini melahirkan norma baru kesehatan atau standard operating procedure yang ketat serta kesadaran baru umat manusia untuk meningkatkan imunitasnya sebagai mahluk yang sempurna dibandingkan dengan mahluk yang lain. Tatanan new normal memiliki konsekuensi logis adanya tatanan new norms (norma atau kaidah-kaidah baru).
Tuntutan adaptasi ini memperkuat eksistensi manusia untuk berhadapan head to head dengan ancaman virus namun dengan tetap dapat mengendalikannya sebagai keadaan biasa. Hal ini menunjukkan kemampuan ras manusia sebagai khalifah pengendali bumi dan mematahkan perlawanan alam yang mengancam kepunahannya.
Efek sosial lainnya yang terjadi adalah adanya norma baru dalam dunia pendidikan. Pembelajaran jarak jauh menggunakan teknologi informasi menjadikan transformasi pengetahuan yang membawa akumulasi 'iptek' menjadi lebih cepat dan efisien. Demikian pula dalam bidang budaya, budaya bisnis, pembiayaan, dan pemesanan via elektronik menjadi lebih lugas dan semakin lumrah untuk dilaksanakan secara meluas.
Digitalisasi kehidupan sosial budaya tentu saja memiliki implikasi hilangnya ruh dan nilai-nilai luhur yang pada era 'old normal' masih dapat dikendalikan oleh ideologi. Kepentingan pragmatis dan ego individualism semakin akan menonjol dan mengesampingkan semangat gotong royong dan kekeluargaan untuk menyelamatkan kemanusiaan. Hal inilah yang menjadi pertanyaan penting, mampukah ideologi Pancasila tetap menjadi penuntun bagi tatanan 'new normal' yang mau tidak mau hadir dalam lintasan hidup warga negara pasca pandemi covid 19?
Perspektif Pancasila