"Tantangan kami untuk kedepan adalah untuk generasi ketiga khususnya, kami akan merasa kehilangan satu budaya, etnis dan bahasa" ucap Endi Dharma, Presiden Indonesian Community Council dalam video refleksi 75 tahun kemerdekaan Indonesia bagi masa depan komunitas Diaspora di Sydney (youtube.com).
Kalimat itu mengingatkan kekecewaan ibu saya lantaran ke-Tionghoa-an anak-anak semakin pudar. Saya generasi ketiga Peranakan Tionghoa yang lahir dan besar di Jakarta. Meskipun orang tua lahir di Indonesia, mereka sempat mengenyam bangku sekolah berbahasa Mandarin sebelum ditutup rezim orde baru saat itu. Sampai hari ini ibu merasa lebih nyaman dalam lingkungan budaya Tionghoa.
Dari kecil ibu memaksa saya les dan berkomunikasi dengan Mandarin. Ketika saya balas dengan Bahasa Indonesia, kadang ibu mengingatkan bahwa saya ini orang Tionghoa.Â
Pernah suatu hari saya balas balik bahwa bukan salah saya lahir di Indonesia, pergi ke sekolah berbahasa Indonesia dan lingkungan pergaulan semua berbahasa Indonesia. Saya merasa orang tua terlalu 'totok' untuk mengerti itu. Ke-Tionghoa-an saya hanya seputar warna kulit, makanan, perayaan imlek, panggilan mandarin kepada keluarga besar dan suka lagu Jay Chou.
Apa hubungan itu semua dengan Diaspora Indonesia di Australia?
Perbedaan bahasa, budaya, makanan, cara berpikir membuat generasi pertama merasa sebagai pendatang di negeri orang. Mereka masih memiliki kebiasaan, ikatan emosi yang kuat dengan tanah air dan merasa lebih nyambung bergaul dengan sesama orang Indonesia. Sebagian dari mereka kalau berkeluarga lebih suka menetap di Suburb yang banyak orang Indonesia atau minimal lingkungan orang Asia. Semua itu tidak ada salahnya.
Sebagai bagian dari generasi pertama Diaspora Sydney, saya juga ingin anak-anak tetap ingat ke-Indonesia-an mereka, setidaknya bisa berbahasa Indonesia dengan lancar agar silahturahmi dengan keluarga besar tetap terjaga.
Generasi kedua, ketiga ABI (Australian Born Indonesian) umumnya melihat diri mereka sebagai 'Aussie' atau 'Aussie of Indonesian heritage'. Waktu kuliah saya pernah bertemu seseorang bernama Sastra. Bahasa inggrisnya fasih layaknya penutur asli. Setelah  basa basi saya tanya "are you Indonesian?"
Sastra: "..............yes".
Saya: "wah kita sama donk Indo!"
Sastra: "no - I am Aussie".
Sejak itu Sastra tidak pernah lagi datang ke kelas, barangkali dia jengkel disamakan dengan FOB (Fresh off Boat) seperti saya.
Generasi pertama bisa merasa terpukul, kecewa atau sulit menerima ikatan nilai-nilai Indonesia anak-anak tidak sekuat mereka, bahkan mencap 'Kacang lupa kulit'.Â
Sementara Peranakan Indonesia yang lahir dan besar di Australia merasa ini negeri mereka, tidak merasa sebagai perantau, generasi pertamalah yang masih 'totok' dalam urusan asimiliasi. Mungkin pengecualian bagi mereka yang pernah menghabiskan masa kecil bertahun-tahun di Indonesia dan cukup fasih berbahasa Indonesia.
Seberapa jauh kita bisa mengharapkan kontribusi generasi peranakan Diaspora Indonesia?
Ketika merenungkan pertayaan tersebut, saya membayangkan apa jadinya kalau organisasi Diaspora Tiongkok mendekati Peranakan Tionghoa kelahiran Indonesia seperti saya dengan harapan ikatan dengan negeri nenek moyang tetap terjaga dan berharap suatu hari dapat berkontribusi kepada Republik Rakyat Tiongkok?
Dalam politik, kasus Gladys Liu anggota parlemen generasi pertama kelahiran Hongkong dari partai Liberal Australia bisa kita jadikan rujukan. Sejarah keanggotan Liu dengan organisasi yang berafiliasi dengan partai komunis Tiongkok menimbulkan polikemik dugaan interfensi asing dalam politik Australia (7news.com.au). Dalam sebuah wawancara Liu juga terkesan 'membela' presiden Xi Jinping dan menolak mengkritik Tiongkok secara langsung (news.com.au).
Ya, kita ingin suara Diaspora Indonesia terwakili dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada hidup kita di Australia. Namun kita juga perlu memahami posisi dan batas etis perwakilan berlatar belakang Indonesia di Australia (maybe one day). Di Indonesia Kita tidak ingin Anies Baswedan menggunakan posisinya untuk berbakti kepada Arab. Kita juga tidak ingin Basuki Tjahaja Purnama (BTP) loyal kepada Tiongkok atau Ram Punjambi memproduksi sinetron berbau propaganda India. Kita bisa bertaruh rakyat Australia juga mengingkan hal yang sama.
Lebih realistik berfokus pada pelestarian budaya, nilai-nilai dan bahasa Indonesia lewat -pendidikan, Rumah Indonesia dan sejenisnya. Australia sebagai negara tujuan imigran menganut kebijakan multikulturalisme dimana negeri ini dibangun oleh pendatang dari seluruh penjuru dunia. Hal ini juga terefleksi lewat kebijakan yang memperbolehkan Dwi Kewarganegaraan dan multilingual services media seperti SBS. Masyrakat bebas mengekspresikan dan melestarikan latar belakang budaya negara asal selama tidak melanggar hukum.
Saya ingin anak-anak nyaman menjadi diri sendiri, bangga dengan latar belakang budaya keluarga dan tidak dibuat merasa asing di negeri kelahiran sendiri Australia. Kita sebagai orang tua hanya bisa mewariskan harta budaya Indonesia dengan memperkenalkan budaya Indonesia sebagai bagian dari jati diri individu, bukan pesaing budaya lokal. Dimanapun peranakan Diaspora Indonesia berada, semoga Indonesia tetap mendapat tempat di hati mereka.
"Neither, I think of myself as a human being."
-- Bruce Lee, when asked whether he is American or Chinese (edition.cnn.com)
Hendra Makgawinata
Sydney, 22/08/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H