Itulah kata kenalan orang tua kerabat saya ketika pulang kampung. Anaknya masuk sekolah international dan dia selalu berkomunikasi dalam Bahasa inggris kepada anaknya. Kalau anaknya diajak ngobrol dalam Bahasa Indonesia, kebanyakan dibalas dalam inggris atau bahasa Indonesia patah-patah beraksen. Â
Anak saya lahir dan besar di Sydney, jadi otomatis Inggris menjadi bahasa utama meski kita ajak bicara bahasa Indonesia dirumah. Bagi kerabat saya itu hanya buang waktu karena di panggung international bahasa Indonesia kurang laku dibanding Inggris atau Mandarin. Lebih baik kita ajak ngomong Mandarin sebisa mungkin menurutnya.
Anak-anak yang masuk sekolah International memang terlihat lebih nyaman berbahasa inggris. Begitu juga dengan anak-anak kelahiran Sydney asal Indonesia. Setelah mereka mulai masuk sekolah perlahan tapi pasti bahasa Indonesia mereka perlahan-lahan memudar. Beranjak dewasa kebanyakan dari mereka hanya menjadi 'passive user' (mengerti sebagian besar isi pembicaraan tapi kesulitan membalas dalam bahasa Indonesia).
Benar, pembicara bahasa Indonesia lebih sedikit. Setidaknya tidak masuk sepuluh besar dunia pada tahun 2017 (http://www.bbcnewspoint.com/top-10-most-spoken-language-in-the-world-2017/).
Minat belajar bahasa Indonesia juga dilaporkan menurun dalam lime belas tahun belakangan di Australia menurut laporan ABC news pada tahun 2016. Bahkan beberapa universitas sudah berhenti menawarkan Bahasa Indonesia karena sepinya peminat (http://www.abc.net.au/news/2016-05-19/indonesian-language-declining-schools/7405422)
Menggunakan ajang sumpah pemuda - meski bermaksud mulia - bahwasanya bahasa Indonesia sebagai pemersatu terasa hambar mengingat kentalnya politik identitas di tanah air dimana isu SARA masih laku dalam mendulang suara. Mungkin menjual nasi padang sebagai medium pemersatu lebih laku dibanding Bahasa Indonesia.
Mereka yang berpendapat belajar Bahasa Indonesia sia-sia cenderung pragmatis. Seandainya mereka belajar, lebih karena Indonesia menawarkan pangsa pasar besar dan tingginya tenaga kerja usia produktif. Jadi sayang kalau kesempatan bisnis hilang hanya karena kendala bahasa (yang bisa dicegah).
Sebagai orang tua kita tentu ingin memberi kesempatan terbaik untuk anak. Namun bukan berarti harus mengorbankan identitas budaya latar belakang anak, dalam hal ini bahasa orang tua. Betapa menggenaskan kalau pertimbangannya semata-mata seputar "apakah dengan menguasai ini nanti bisa jago cari duit?". Kita manusia bukan sekedar 'sumber daya' dalam mesin bernama ekonomi.
Saya pribadi ingin anak-anak tetap bisa lancar berbahasa Indonesia aktif agar tali silahturahmi dengan keluarga besar di tanah air tetap lancar. Saya juga ingin anak-anak bisa menikmati lagu Indonesia favorit jadul dari PADI, Dewa 19 (waktu Ahmad Dhani masih waras), dan Nugie.
Kita bangga luar biasa ketika Presiden Amerika ke-44 Barrack Obama membubuhi pidato singkat dalam Bahasa Indonesia dan menekankan "Indonesia bagian dari diri saya". Kita juga kagum mendengar Sacha Stevenson lancar bercas-cis-cus dalam bahasa Indonesia.
Jadi mengapa sebagian dari kita masih tega menganak tirikan bahasa nusantara sendiri?