Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Money

Tiga Kebiasaan Hidup yang Memiskinkan

16 Juli 2015   21:43 Diperbarui: 16 Juli 2015   21:43 3121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang bilang manusia adalah makhluk kebiasaan. Hampir segala sesuatu yang terlihat seperti ‘mendadak’ kaya atau jatuh miskin hampir pasti bermuara dari proses panjang yang dilakukan sehari-hari. Hobi makan gorengan setiap hari?  Siap-siap saja menuai penyakit obesitas di masa depan. Suka mengigit kuku kalau sedang galau? Jangan heran kena penyakit cacingan.

Banyak jalan menuju kemakmuran namun jalan menuju kemiskinan mirip-mirip. Kebiasaan, cara berpikir, lingkungan semua masih berada dalam kontrol kita. Sangat tragis bila seseorang jatuh miskin karena faktor yang bisa dikontrol.

Kebanyakan orang yang jatuh miskin mengalami kasus klasik dimana lebih besar pasak daripada tiang. Tapi apa pencetusnya? Kita mungkin hanya melihat asap tapi meraba-raba asal percikan api. Tulisan ini berbagi pengamatan pribadi orang-orang sekitar mengenai faktor-faktor harian yang kasat mata dan memiskinkan pengidapnya.

 

Membanding-bandingkan gaya hidup

Seorang teman pernah tanya apakah lebih baik beli HP model terbaru atau motor. Dia mengaku lebih butuh motor agar pergi ke kampus lebih cepat tapi disisi lain merasa minder dengan HP jadulnya. “Mana ada yang mau gaul ama gue di kampus” katanya. Teman saya yang lain punya cerita serupa. Rekan kerjanya lebih memilih memiliki dua mobil mewah BMW daripada untuk DP rumah. “Tidur saja dimobil” jawabnya bercanda ketika ditanya apa yang akan keluarganya lakukan kalau kena PHK.

Mentalitas yang melihat materi tolak ukur satu-satunya hidup berkualitas hanya mengguntungkan produsen. Semakin konsumen melihat barang yang mereka jual sebagai bagian gaya hidup ‘ideal’, semakin lebar senyum mereka. Motivasi utama mereka adalah profit; mesin marketing mereka adalah iklan; dan market impian mereka adalah orang-orang yang latah – hobi adu gengsi - kalau perlu mengorbankan prioritas hidup lainnya demi membeli produk yang mereka tawarkan.

Semakin mahal dan banyak materi yang dikonsumsi, semakin tinggi kualitas hidup seseorang adalah mitos terbesar gaya hidup modern. Materi tidak lebih dari instrumen untuk mempermudah kita melakukan karya hidup. Lebih keren adu prestasi kerja riil atau karya hidup yang membawa manfaat bagi banyak orang daripada menaikkan ego yang fana.

 

Memiliki kebiasaan adiktif

Memiliki kebiasaan merokok bisa diibaratkan membakar uang dan paru-paru sedikit demi sedikit. Kalau diasumsikan perokok menghabiskan Rp10,000 per hari, maka dalam satu tahun dia telah ‘membakar’ Rp3,650,000 per tahun. Biasa seseorang menjadi perokok sejak usia remaja lantaran biar kelihatan keren (terima kasih iklan rokok!), jadi anggaplah dari usia remaja 17 tahun hingga usia dewasa muda 30 tahun, perokok telah menghabiskan Rp 47,450,000 (13 x Rp3,650,000) - uang yang bisa dipakai untuk biaya pernikahan, modal usaha, naik haji, DP rumah, beli motor, tabungan darurat dan lain-lain. Itupun belum memperhitungkan biaya berobat akibat merokok, efek samping bagi perokok pasif dan stress dalam keluarga yang kedapatan anggotanya kena kanker paru-paru, kanker lidah, stroke dan penyakit mematikan lainnya yang berhubungan dengan rokok.

Berjudi juga kurang lebih termasuk kebiasaan adiktif. Secara umum ada dua kategori penjudi. Pertama, mereka yang ingin cepat kaya tanpa kerja keras dengan mengandalkan keberuntungan. Kedua, penikmat judi sebagai ‘hiburan’. Bagi mereka berjudi tidak beda dengan keluar duit untuk bentuk hiburan lain seperti jalan-jalan ke luar negeri.

Orang kaya biasa mendominasi grup kedua. Mereka tahu batas uang yang akan dijudikan. Menang di meja judi hanya bonus; mereka bisa menerima kekalahan sebagai bagian dari permainan dan beranjak pergi dengan santai. Sedangkan pemimpi biasa mendominasi grup pertama. Kalau kalah, mereka akan terus bermain untuk membalas kekalahan, bahkan kalau perlu pinjam duit sampai kekalahannya terbayar dan berakhir dalam lingkaran setan.

Kemenangan kecil menggoda pemain untuk tetap lanjut berharap kemenangan besar akan datang; kekalahan membisiki pemain untuk bertahan demi membalas kekalahan. Pada akhirnya hanya bandar yang keluar sebagai pemenang.

 

Salah menempatkan kepercayaan dan kebaikan hati

“My brain and my balls are for business; my heart is only for my family”. Terjemahan bebas: otak dan nyali aku gunakan untuk berbisnis, saya hanya menggunakan hati untuk urusan keluarga. Saya mendengar kalimat itu dalam sebuah flim bertahun-tahun lalu. Ingin rasanya percaya kalau itu semua hanya flim, tapi realitas hidup ternyata memang seperti itu.

Tidak satupun teman saya yang terjun ke dunia bisnis yang tidak pernah kena tipu atau hampir menjadi korban penipuan. Ironisnya hampir semua pelaku adalah mitra kerja yang sudah kenal lama, saudara sendiri, pegawai kepercayaaan atau sahabat dekat. Bang Napi benar, kejahatan terjadi karena ada motivasi dan kesempatan. Siapa lagi yang paling berkesempatan kalau bukan orang dekat?

Kisah nyata: pegawai terpercaya kenalan saya terus mengirim barang ke perusahaan X meskipun kreditnya macet. Setelah diusut ternyata perusahaan X memiliki relasi saudara dengan pegawai tersebut. Setelah ketahuan pegawai tersebut sudah kabur meninggalkan kredit macet bernilai ratusan juta. Ironisnya si pegawai sangat aktif di lingkungan tempat ibadah, sungguh tidak menyangka dia bisa berbuat serendah itu. 

Business is business. Dalam hubungan dimana ada uang terlibat tidak peduli dalam skala kecil (jual beli rumah atau kendaaran) atau besar (transaksi perusahaan bernilai milyaran), kita harus melihat tembus dibalik ramah tamah salesman, kecantikan SPG, jilatan pegawai, mulut manis dan janji mitra bisnis. Beberapa dari mereka mungkin akan mengeluarkan kata-kata yang membuat tidak enak hati seakan-akan Anda tidak percaya setelah sekian lama menjalin bisnis bersama. Silahkan ramah tapi tetap tegas dengan persyaratan dan ketentuan yang telah disetujui bersama.

Hukum tidak terlulis dalam hubungan komersil: menjadi populer dan disukai orang hanya berlaku ketika Anda sedang berjaya atau orang lain ada kepentingan. Dengan memahami hakikat kefanaan dalam relasi bisnis, sejogjanya kita tidak perlu takut bersikap asertif.

Tapi bagaimana kalau ada sanak saudara atau teman yang benar-benar butuh uang? Apakah kita tetap perhitungan dalam memberi pinjaman?

Saran saya: kasih seikhlasnya tanpa mengharapkan kembali. Kalau peminjam lebih menghargai relasi daripada uang, mereka akan menghargai kepercayaan Anda dan berusaha keras mengembalikannya. Seandainya mereka tidak pernah mengembalikan setidaknya Anda sudah mengikhlaskan dan jadi sedikit lebih tahu seperti apa tabiat mereka sesungguhnya.

Semoga bermanfaat.

 

Hendra Makgawinata

Sydney, 17/07/15

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun