Menghayati kelucuan negeri ini kadang membuat darah sampai ke ubun-ubun.
Banyak pelawak yang sedang naik daun sepertinya.
Tapi sayang, sama seperti acara lawak di televisi, penontonnya bayaran, dan bualannya tak beraturan, konyol.
Nyatanya negeri ini merupakan negeri agraris, bukan negari bualis.
Analogis seperti padi dan benalu.
Pepatah bilang: padi berisi menunduk tak berisik.
Namun siklus yang berjalan adalah padi sedang membunting, belum menunduk.
Pak Tani murung, nestapa puso sedang melanda, pandemik.
Padi membunting diintip pipit oportunis.
Sedang lumbung menipis dijaga tikus.
Bagaimana tidak, kebun beringinnya digerayangi benalu, hampir ke akar-akarnya.
Belum lagi sawah padinya, mampus.
Memang lagi musimnya, kejayaan benalu meraja lela.
Kamuflase jenggot dan sorban diarak keliling desa.
Berdagang tiket akhirat, yang menurut dengkulnya, pembelinya akan menduduki takhta surga.
Jitu sekali.
Tetapi itu tidak akan bertahan lama, sebab padi yang bunting didalam pertapaannya akan menguning, tidak berisik.
Lalu akan memenuhi lumbung Pak Tani, berlimpah ruah, sampai sampai tikus terbirit melihatnya.
Lalu burung hantu akan berpesta pora, banyak tikus yang menjadi jamuannya.
Lalu burung hantu itu akan mati juga, sebab tikus tak ditemui lagi di lumbung Pak Tani, sudah penuh dengan biji padi, biji beras, bernas.
Pak Tani sumringah, sudah punya daya, membeli gergaji, dan akarisida, memusnahkan benalu yang mendiami beringin di kebunnya.
Sehingga Garuda mampu bersarang di atasnya, mencengkeram erat Keris Mpu Tantular, siap menerkam benalu dan tikus jalang.
Pak Tani Jaya!!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI