PADA awalnya, adalah sebuah bentuk usaha keras dari ribuan bahkan jutaan orang untuk bisa mempertumbuhkan sebatang pohon beringin di tanah subur tak terawat. Pohon beringin ini dibutuhkan sebagai naungan bagi jutaan makhluk lainnya. Segala upaya ditekadkan disana, tanah digemburkan, pupuk diberi, dan air ditumpahkan.
Benih dikecambahkan sejak ratusan tahun yang lalu, berkecambah, berdaun dua, tetapi pertumbuhannya lamban. Banyak gulma yang memberi alelopati sehingga tumbuhnya tersendat-sendat. Gulmanya bukan hanya satu, tapi berbondong-bondong untuk menyerobot sari pati beringin itu. Bahkan puluhan tahun yang lalu lah beringin bisa bertambah tinggi, kambiumnya merekah namun xylem dan floemnya masih muda.
Sekarang beringin itu telah berumur 71 tahun, usia yang tergolong tua apabila dibandingkan usia tukang kebunnya. Sudah 7 kali tukang kebunnya berganti, hanya untuk menumbuhtegakkan pohon beringin tersebut. Banyak puso yang terjadi akibat gulma alelopati, termasuk benalu yang bersimbiosis parasitisme.
Asal muasal benalu ini terbawa oleh burung yang membuang kotorannya sembarangan dan tertancap di cabang sekunder pohon beringin, namun sumber benihnya diketahui berasal dari tanah berminyak yang tidak memungkinkan lagi tumbuh pepohonan, karena akar sudah tak mampu menembus tanah berkarang. Benih ini merupakan usaha memperluas penyebaran, agar layak disebut pandemik dan layak dipandang sebagai teduhan bagi seluruh ummat.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, benalu tumbuh berakar kuat seraya perkembangan batang beringin. Tak dinyana, karbohidrat, pati, dan air yang berasal dari akar dan dimasak oleh daun reformasi diparasitisasi oleh benalu hingga menggemukkan batangnya dan memperkokoh akarnya.
Beberapa musim selanjutnya, tukang kebun menyadari ada sesuatu yang menggerogoti batang beringin yang membuat beringin itu kurus kering. Lalu dipangkasnya batang benalu itu, tapi tetap bisa bertunas kembali, dan terkadang si tukang kebun merasa bahwa benalu itu bisa dimanfaatkan sebagi herbal penggemuk badannya beserta tiraninya. Hal ini yang membuat proteksi tanaman beringin itu lemah.
Benalu parasit ini dengan kekuatan akar dan enzim kamuflasenya berhasil membutakan nurani dahan yang lainnya, karena mereka juga terlalu sibuk untuk menumbuhkan tunas-tunas baru lainnya.
Merasa di atas angin, dahan bukan lagi tempat yang empuk untuk ditinggali. Benalu melebarkan kambiumnya untuk menembus akar tunggang dan serabut beringin. Tujuannya supaya tidak ada lagi yang bisa mengusik ketenangan kepentingan benalu. Sebab akar merupakan pondasi yang kuat untuk mensukseskan ambisinya.
Membabat habis dedaunan dan batang benalu bukanlah usaha proteksi yang handal untuk mensterilkan beringin dari paratisasi. Pestisida yang ampuh adalah akarisida yang mampu merusak sel-sel akar benalu.
Formulasi akarisida tersebut sampai saat ini belum ditemukan, perlu penelitian lebih lanjut. Dan menurut hemat saya, nutfah dari empat pilar kebangsaan merupakan plasma yang perlu terus dicoba, seraya terus memberikan pupuk dan sumber-sumber bahan organik kepada akar dan bayfolan kepada dedaunannya.
Sehingga terciptalah beringin yang tegak didekapan burung Garuda perkasa, sebab kaki Garuda mencengkeram kuat Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila menjadi satu-satunya sumber cahaya dalam fotosintesa Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Coretan ini merupakan ilustrasi kontekstual kehidupan berbangsa dalam Negara Republik Indonesia, yang sedikit bisa saya ilustrasikan. Memang masih dangkal, tetapi setidaknya dapat saya uraikan sesuai penalaran saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H