Siang itu bersama seorang teman, saya melepas penat dengan berjalan-jalan di Kota Ruteng, Manggarai, Flores. Tak seperti biasanya, kali ini Ruteng sepi. "Ulah covid-19", gumam saya dalam hati.Â
Kendaraan tak lagi hilir-mudik seperti biasanya. Toko-toko lebih banyak yang tutup. Pasar pun sepi. Suara kondektur bemo tak lagi terdengar nyaring. Bahkan, hanya terlihat satu-dua bemo angkutan kota yang masih hilir mudik mencari penumpang. Kemacetan kecil-kecilan di ruko dan depan Katedral Lama, khususnya di siang hari tak lagi dijumpai.
Biasanya di siang hari seperti ini Ruteng ramai. Anak-anak sekolah dari SD hingga SMA beramai-ramai pulang sekolah. Ada yang berjalan kaki. Ada pula yang berkendaraan entah dijemput oleh orangtua atau numpang kendaraan angkot.
Saat-saat pulang sekolah seperti ini menjadi momen cuci mata yang menawan. Anak-anak SMA, khususnya enu-enu (sebutan bahasa Manggarai untuk anak gadis) berseliweran di jalan. Senyuman mereka yang apik ditambah wajah mungil yang bening menampilkan aura kecantikan yang hakiki, sontak membuat mata tak berkedip menatap. Apalagi jika mereka menyerocos dengan logat Ruteng yang khas, semisal, "iyakaa...saya tir pernah pergi ke situ e.." Enak sekali didengar.
Di sebuah toko ketika hendak membeli barang pesanan, seorang nenek tergopoh-gopoh menawarkan koja (kacang tanah) rebus kepada saya dan teman saya. Di belakangnya, seorang bocah menguntit sambil menggendong sebuah keranjang dengan koja yang telah diplastikkan di dalamnya. Lantang, ia menawarkan kojanya, "Koja...koja..koja.."
"Nana, toe weli Koja it?" (Anak muda, apakah ingin membeli koja?) Tawar sang nenek kepada saya sambil menyodorkan seplastik koja yang telah direbus.
"Pisa ca plastik ende?"(Berapa harga satu plastik nenek?"), tanya saya.
"Cepuluh sebu nana." (Sepuluh ribu rupiah, anak muda), jawab sang nenek.
Karena sudah lama tak pernah makan koja, saya membelinya. Apalagi aromanya cukup menawan. Ditambah perut telah lama berbunyi.
Setelah memakan sekitar sepuluh butir koja, sang nenek kembali menawarkan kojanya.Â
"Nana, asa ngoeng weli tamba" ("Anak muda, apakah ingin beli lagi?").
Ternyata sang nenek tak beranjak dari kami berdua sejak tadi. Kami terlalu lahap memakan koja, sehingga keberadaan sang nenek tidak terlalu diperhatikan. Mungkin dengan alasan yang sama, sang nenek menawarkan koja kepada kami.
Namun sebelum membelinya, saya sedikit berbasa-basi dengan iming-iming sang nenek bermurah hati menurunkan harganya atau memberikannya secara gratis.
"Oe ende, ngong seber dite pika koja so e. Mesek tua tite ge?" ("Aduh nenek, engkau sangat rajin. Sudah tua begini masih menjual kacang tanah?") tanya saya dengan nada seramah mungkin.