Mohon tunggu...
Hendra Kumpul
Hendra Kumpul Mohon Tunggu... Lainnya - Ro'eng Koe

Sedang Belajar Menulis ndakumpul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ako Woja dan Dodo yang Terbengkelai

19 April 2020   08:21 Diperbarui: 19 April 2020   08:42 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bilur padi telah menguning. Banyak petani sawah Manggarai mulai sumringah. Ako woja (memanen padi) sebentar lagi akan terjadi. Bahkan, banyak uma woja (sawah) masyarakat telah dan sedang di panen. Beberapa diantaranya telah menggilingnya menjadi beras.

Saat-saat seperti ini biasanya orang-orang beramai-ramai meninggalkan rumahnya dan beranjak ke sawah untuk memanen padi garapan mereka masing-masing. Penulis pun tak terkecuali. Daripada diam melongo di rumah, lebih asyik jika ikut bergabung. Alhasil, racikan-racikan filsafat di ruang kuliah bahkan perlahan-lahan mulai memudar. Tapi tak apa-apa.  Toh, dalam panenan sawah, saya akan menemukan beragam kebijaksanaan yang selalu dicari-cari dan dipersoalkan filsafat.

Sebelum ako woja dilaksanakan, diadakan ritus teing hang (upacara adat Manggarai untuk memberi makan kepada nenek moyang sebagai rasa syukur dan ucapan terimakasih karena selalu menyertai usaha dan langkah masyarakat Manggarai). 

Dalam ako woja seperti ini, biasanya "korban sembelihan" yang marak ialah manuk bakok (ayam berbulu putih), dan manuk cepang (ayam berbulu dengan aneka warna). Setelah melakukan torok tae (pemanggilan arwah leluhur), darah ayam tersebut ditebarkan di beberapa petak sawah.

Ada keyakinan turun-temurun dalam masyarakat Manggarai bahwa dengan melakukan ritus teing hang terlebih dahulu, hasil panen padi akan bertambah. 

Dalam ako woja diperlukan etos kerja keras karena untuk ako woja dibutuhkan tenaga yang superfantastic dari kaum wanita dan para lelaki Manggarai. Para wanita akan merunduk selama seharian untuk memotong bilur-bilur padi yang telah masak dan memisahkannya dari batang. 

Ilustrasi petani sawah sedang memanen padi. Sumber: Pixaby
Ilustrasi petani sawah sedang memanen padi. Sumber: Pixaby
Sementara itu, para lelaki akan mengangkutnya ke tempat penampungan yang telah disediakan menggunakan karung-karung goni yang dimodifikasi sedemikian rupa agar aman serta terjaga bilur-bilurnya. Ketika diisi bilur-bilur padi, bentuk karung-karung tersebut bermacam-macam. Ada yang berbentuk kerucut, segi empat, dan segititiga. Para lelaki akan bekerja sedikit keras karena mengangkut semua bilur-bilur padi lantas menempatkannya di tempat penampungan yang lumayan jauh dari areal persawahan.

Selain kerja keras dalam ako woja, kebersamaan ialah main valuenya. Para wanita akan asyik bercengkrama selama memotong bilur-bilur padi. Gosip pun berhamburan keluar dari mulut, entah tentang film-film sinetron hingga cibiran pedas terhadap perilaku tetangga. Sambil menyerocos, mereka tak lupa membuang liur merah karena cepa (campuran daun sirih, biji pinang, dan kapur). Banyak cerita dan kejadian lucu diutarakan. Alhasil, gelak tawa pun menggelegar. 

Ketika para wanita asyik bercengkrama sambil mengunyah cepa, para lelaki beramai-ramai membakar rokok (biasanya rokok disediakan oleh pemilik kebun) sambil berbincang tentang perkiraan keberhasilan hasil panen dengan menakar cuaca yang terjadi selama ini, obat-obatan yang digunakan, hama-wereng yang berkelebatan di bilur-bilur padi, sistem pengairan yang dijalankan, serta pembersihan rumput-rumput dalam petak dan pematang.

 Ketika waktu menunjukkaan pkl. 09.00 hingga pkl. 10.00, semua pekerja ako woja akan mengasoh sejenak. Kepulan kopi hitam (biasanya berjenis arabika), asap rokok, deretan cepa akan berhamburan bersama derai tawa karena sentilan-sentilan lucu yang ngakak. Kemudian peserta ako woja melanjutkan kerjanya dengan hati riang.

Pada pkl 12.00 hingga 13.00, semua peserta akan istirahat makan siang bersama di rumah atau di areal persawahan pemiliknya. Setelah itu, mereka akan melanjutkan panenan padi hingga selesai. Kemudian secara bersama-sama mereka akan memisahkan bilur-bilur padi dari batang menggunakan mesin rontok.

Jika tidak ada mesin rontok, para pria akan bahu-membahu ponggal woja (memisahkan bilur padi dari batangnya dengan memukulnya menggunakan kayu). 

Di samping itu, para wanita akan teter. Teter berarti memisahkan bilur padi yang berisi dan tidak berisi menggunakan roto-semacam bakul besar- dengan cara menjunjung roto tersebut di atas kepala dan perlahan-lahan melepaskan bilur-bilur dari dalamnya sehingga angin akan menerbangkan bilur-bilur padi yang tak berisi (embo). Dengan demikian, bilur-bilur padi yang berisi akan terkumpul di satu tempat dan siap dikarungkan.

Semua pelaksanan kerja di atas akan berjalan lancar berkat adanya dodo. Dodo merupakan sistem kerja gotong royong dalam masyarakat Manggarai dengan motif berbalas-balasan kerja tanpa adanya  upah. Artinya, jika seorang pria atau wanita telah bekerja sebagai salah satu peserta ako woja di sawah salah satu masyarakat kampung, maka si pemilik sawah bersangkutan wajib bekerja di kebun mereka dengan waktu dan porsi kerja yang sama.

Hal ini biasa disebut leko-raung. Leko artinya membalas dan raung artinya utang. Jadi secara harafiah, leko-raung berarti membayar utang. Namun membayar utang yang dimaksudkan di sini ialah "membayar" tenaga para pekerja yang telah bekerja di sawahnya dengan kembali bekerja di sawah mereka tanpa diupah. Karena itu, setiap pekerja pria dan wanita harus selalu sedia diwancong (diajak bekerja) agar "utangnya" terlunasi. 

Keunggulan dodo ini ialah "ringan sama dipikul, berat sama dijunjung." Petani sawah Manggarai akan mengerjakan sawahnya dengan mudah tanpa merogoh koceh terlalu banyak. Pekerja yang terlibat pun banyak karena terlilit utang bekerja. Pemilik panenan padi hanya menyiapkan kopi (pagi dan sore), rokok, dan makan siang bagi para pekerja. 

Namun, semua pengalaman ako woja dan dodo pada musim ini rehat sejenak. Hal ini tak lain karena peraturan "di rumah aja" demi mencegah penyebaran covid-19. 

Para petani sawah Manggarai pun diliputi kesulitan besar. Mereka akan sulit mendapatkan pekerja dodo yang banyak sebagaiman lazimnya pada musim-musim sebelumnya. Kebijakan physical distancing yang diterapkan pemerintah sungguh-sungguh dilaksanakan dengan baik. 

Akibatnya berefek ganda. Di satu sisi, pencegahan penyebaran covid-19 berjalan ampuh di Manggarai. Namun di sisi lain, petani sawah Manggarai mengalami kesulitan besar dalam memanen bilur-bilur padi yang telah menguning.

Waktu untuk memanen padi (ako woja) menjadi relarif lama dan panjang, bisa berhari-hari atau bermingu-minggu khususnya bagi petani sawah yang memiliki lahan yang besar. Penyebab utamanya ialah pekerja pria dan wanita yang jumlahnya sedikit. Kini dalam suatu panenan sawah pekerja pria dan wanitanya biasanya berjumlah tiga hingga lima orang. Apalagi pada hari yang bersamaan ada dua hingga empat panenan padi.

Selain itu, hasil panenan sawah sedikit menurun. Banyak petani sawah Manggarai mengeluhkan hal ini. Penyebabnya ialah kurangnya perhatian ketika blur padi mulai menguning. Mulai dari pengairan yang tak teratur, kurangnya waktu reang peti (mengusir burung pipit yang memakan bilur-bilur padi), serta waktu panenan padi yang terlambat karena bilur-bilur padi telah cehu (terlalu masak).

"Ae corona e pande mata woja gu weleng wakar dite" (aduh corona bikin padi mati sa..nasib kita pun terbelenggu), keluh seorang petani sawah kepada saya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun