Kasus dukun pengganda uang bernama Mbah Slamet Tohari yang sempat menjadi viral beberapa waktu lalu menunjukkan betapa masih besarnya minat masyarakat Indonesia terhadap penggandaan uang.
Namun, kasus tersebut juga menunjukkan betapa pentingnya pemahaman masyarakat terhadap risiko dan konsekuensi dari tindakan penggandaan uang yang tidak jelas keabsahannya.
Baca juga:
A Short Poem: Dukun Pengganda Uang
Fenomena penggandaan uang sudah lama menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan di Indonesia. Ada banyak orang yang tertarik untuk mencoba cara ini agar bisa menghasilkan lebih banyak uang dengan cepat.
Dalam konteks sosial budaya, penggandaan uang di Indonesia sangat erat kaitannya dengan budaya cepat kaya. Budaya ini memandang kekayaan sebagai sesuatu yang 'harus' dicapai dengan cepat dan mudah.
Oleh karena itu, banyak orang yang tertarik untuk mencoba penggandaan uang sebagai cara untuk mencapai tujuan tersebut, dengan berbagai macam alasan dan latar belakang yang ada di dalam kehidupan sosial.
Namun, dalam praktiknya, penggandaan uang seringkali berujung pada penipuan dan kerugian finansial yang besar. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tergiur oleh janji-janji iming-iming penghasilan yang besar dan cepat, tanpa mempertimbangkan risikonya.
Kembali ke kasus dukun tadi, hal ini bahkan berujung pada tindakan pembunuhan sadis, yang mengakibatkan 11 nyawa melayang oleh kekejaman Slamet Tohari.
Penggandaan uang yang lebih banyak dampak negatifnya merupakan tindakan yang bisa dibilang berbahaya dan merugikan masyarakat.
Tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga bisa berakibat tidak baik pada kehidupan sosial dan memicu timbulnya masalah-masalah lain.
"Tidak ada yang namanya kaya cepat! Sesuatu yang bersifat kaya cepat itu biasanya tidak bertahan lama dan bodong."
(Andika Sutoro Putra, Anak Muda Miliarder Saham)