Mohon tunggu...
Hendra Gunawan Laoli
Hendra Gunawan Laoli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik Elektro UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mobil Listrik: Ironi Kehancuran Lingkungan di Balik Teknologi Ramah Lingkungan

15 Juli 2024   21:22 Diperbarui: 15 Juli 2024   21:24 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mobil listrik merupakan kendaraan masa depan yang menggabungkan teknologi serba digital dengan berbagai tipe baterai, termasuk yang mengandung nikel seperti lithium ion, nickel metal hybrid, dan lainnya. Keunggulan utama mobil listrik terletak pada biaya operasionalnya yang lebih murah dibandingkan mobil konvensional berbahan bakar minyak, serta tidak menghasilkan emisi gas buang yang berkontribusi pada krisis iklim. Selain itu, pemerintah mendukung penggunaan mobil listrik dengan menetapkan pajak yang lebih rendah, sehingga memperkuat posisinya sebagai kendaraan ramah lingkungan dan ekonomis. 

Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, terdapat warga yang hidup di atas tanah yang mengandung nikel, seperti Anwar, yang mengandalkan hasil alam seperti cengkeh dan jambu mete untuk kehidupannya. Namun, sejak PT Gema Kreasi Perdana, perusahaan tambang nikel, beroperasi di pulau tersebut, produktivitas tanaman Anwar dan warga lainnya mengalami penurunan drastis. Sebelum tambang beroperasi, Anwar bisa menghasilkan sekitar 4 ton jambu mete, namun sekarang hanya sekitar 300 kilo, dengan kerugian mencapai 55 juta rupiah. 

Tidak hanya Anwar, tetapi warga lainnya juga kehilangan pendapatan karena penyerobotan lahan oleh perusahaan tambang, seperti Lamiri dan Widiyati, yang mengalami kerugian hampir 230 juta rupiah akibat kerusakan tanaman cengkeh mereka. Ancaman kerugian ekonomi juga menghantui 34 ribu jiwa masyarakat Pulau Wawonii yang bergantung pada hasil alam, menunjukkan dampak serius dari aktivitas tambang nikel terhadap kehidupan masyarakat lokal. 

Mahmud Ali, seorang petani pala di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Beliau mengelola kebunnya selama 25 tahun untuk menghidupi keluarganya. Bahkan, dua dari empat anaknya berhasil meraih gelar sarjana hanya dengan hasil dari tanaman pala tersebut. Namun, kehidupan Mahmud terganggu oleh aktivitas PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), perusahaan smelter nikel yang berlokasi dekat dengan kebunnya. Sejumlah pohon pala milik Mahmud mulai membusuk secara tiba-tiba seiring dengan aktivitas pertambangan. Meskipun pernah ditawari untuk menjual tanahnya kepada PT First Pacific Mining, Mahmud menolak tawaran tersebut. Rencana pembelian tanah ini diduga terkait dengan aktivitas pembukaan lahan tambang di kawasan Sagea, sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mendukung program industrialisasi nasional. Dengan demikian, Mahmud dan petani lainnya di daerah tersebut menghadapi ketidakpastian atas masa depan mata pencaharian mereka akibat dampak dari aktivitas industri tambang nikel. 

Deposit nikel dunia saat ini diperkirakan mencapai 72 ton. Indonesia memiliki lebih dari 50% cadangan nikel tersebut, menjadikannya sebagai negara pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, diikuti oleh Australia dan Rusia. Pemerintah Indonesia sedang berusaha memaksimalkan potensi ini. Meskipun negara lain juga memiliki cadangan nikel, modal pengelolaannya tidak sebesar Indonesia yang memberikan izin kepada para pelaku industri dengan relatif mudah. 

Data menunjukkan bahwa Sulawesi Tenggara memiliki 154 izin usaha dan 1 kontrak karya, Sulawesi Selatan memiliki 34 izin usaha, dan Sulawesi Tengah memiliki 85 izin usaha. Di Maluku Utara, terdapat 44 izin kontrak dan 2 kontrak karya, sementara Maluku hanya memiliki 2 izin usaha. Papua Barat memiliki 3 izin usaha dan 1 kontrak karya, sementara Papua memiliki 1 izin usaha dan 1 kontrak karya. Lebih dari 300 izin usaha telah diberikan, dengan luas wilayah area konsesi mencapai 3,95 juta hektar, hampir 60 kali lipat luas Kota Jakarta. 

Pemerintah Indonesia tidak hanya mengandalkan sektor pertambangan nikel, tetapi juga mendorong hilirisasi industri nikel dengan membangun smelter untuk mengolah biji nikel menjadi produk akhir bernilai tambah. Salah satu tujuan hilirisasi ini adalah untuk mendukung industri baterai kendaraan listrik. Namun, warga yang tinggal di sekitar kawasan smelter harus membayar harga yang mahal atas ambisi hilirisasi nikel ini, karena mereka harus menghadapi dampak lingkungan yang ditimbulkannya. 

Kawasan wisata Boki Maruru, yang terletak di Desa Sagea dan Desa Kiya, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, telah menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi bagi warga setempat. Meskipun mayoritas pengunjung berasal dari industri tambang nikel dan pengolahannya, dibalik ke ramaian kawasan wisata ini terdapat ancaman di lingkungan sekitar. Air Sungai Sagea diyakini menjadi keruh akibat aktivitas pertambangan yang berada di hulu sungai. 

Ada setidaknya lima izin usaha pertambangan yang wilayah konsesinya masuk ke dalam area aliran Sungai Sagea, dengan total luas mencapai lebih dari 11.333 hektar, dari total luas daerah aliran Sungai Sagea yang mencapai 18.200,4 hektar. Meskipun terjadi kerusakan lingkungan, tidak ada kompensasi atau ganti rugi yang diberikan oleh perusahaan tambang kepada warga setempat, apalagi subsidi atau insentif kepada warga, sebagaimana yang diberikan oleh pemerintah kepada industri nikel dan pengguna kendaraan listrik. 

Eksplorasi tambang nikel tidak hanya berdampak pada warga Sagea, tetapi juga pada Masyarakat Adat O'hongana Manyawa. Untuk melawan aktivitas tambang yang mengancam lingkungan tempat tinggal mereka, mereka hanya bisa menghadang alat berat masuk ke hutan Halmahera. Akibat dari aktivitas tambang dan industri nikel, tutupan hutan di wilayah Maluku Utara telah berkurang lebih dari 270.000 hektar sejak tahun 2001 hingga 2022. Hilangnya hutan di sebagian Halmahera merupakan akibat dari aktivitas pertambangan, namun deforestasi juga terjadi di wilayah lain. Dalam 20 tahun terakhir, setidaknya lebih dari 300.000 hektar hutan telah berubah menjadi wilayah konsesi nikel, luas ini setara dengan 5 kali luas Provinsi DKI Jakarta. 

Sepatutnya pemerintah memberikan suatu upaya pemulihan lingkungan pascaeksplorasi tambang nikel. Program rehabilitasi lahan pasca-tambang menjadi fokus utama untuk mengembalikan fungsi ekologis area yang terkena dampak pertambangan. Selain itu, pengelolaan limbah tambang yang baik menjadi prioritas untuk mengurangi polusi air, udara, dan kontaminasi tanah di sekitar lokasi tambang. Sistem monitoring lingkungan diterapkan secara ketat untuk memantau kualitas udara, air, tanah, serta flora dan fauna lokal sebagai langkah pemulihan lingkungan. Program konservasi sumber daya alam, seperti penanaman kembali hutan dan perlindungan spesies endemik, juga dilakukan untuk memulihkan ekosistem yang terganggu akibat aktivitas tambang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun