Siapa sangka, gencarnya sosialisasi anti bullying ternyata tidak seefektif yang diharapkan. Seperti yang dirilis oleh KPAI, per awal tahun 2024 tindak bullying di Indonesia justru meningkat sebesar 35 persen pada lingkungan sekolah.
PISA juga mencatat bahwa Indonesia terdata sebagai negara nomor 5 pelaku bullying diantara kalangan pelajar. Khususnya di dalam lembaga pendidikan yang multikompleks dengan kultur pelajarnya masing-masing.
Dimana secara umum, perilaku bullying justru dominan melalui media digital. Implikasi negatif dari perkembangan media di era digital. Dengan kecenderungan besar pada pengaruh moral dan sikap anti sosial.
Ada semacam perilaku (kebiasaan) yang terbawa selama fase sekolah menengah hingga tingkat atas. Tanpa ada kontrol yang baik secara sosial maupun edukatif rasional. Dengan karakteristik untuk dapat dipahami, sebagai berikut:
1. Circle Anti Sosial
Memiliki kelompok yang bertindak dan berperilaku eksklusif di lingkungannya. Khususnya di sekolah atau kelas, dengan orientasi pragmatis.
Tanpa memperdulikan lingkungan sosialnya, biasanya anak-anak yang ada pada circle tersebut lebih mencari keuntungan kelompok.
2. Tidak Memiliki Empati
Dalam circle yang anti sosial, sikap nir-empati tampak secara natural sebagai identitas yang mudah dikenali. Khususnya jika ada persoalan sosial disekitarnya.
Ketidakpedulian tampak dengan sikap yang dingin, tanpa ada empati untuk dapat memahami realitas sosial.