Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Gelar Tak Lagi Sakral

23 Juli 2024   05:00 Diperbarui: 23 Juli 2024   05:16 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi transaksi gelar (sumber: shutterstock via kompas.com)

Ramai kiranya di kalangan akademisi, testamen yang dikeluarkan oleh Rektor UII, Bapak Fathul Wahid. Beliau tidak berkenan dipanggil Profesor seperti biasa orang memiliki status/gelar tingginya. Dimana kini, gelar dianggap segala-galanya oleh para akademisi. Hal ini tentu membuat banyak orang bertanya, apa ini merupakan desakralisasi sebuah gelar guru/profesor besar?

Sebenarnya sejarah penyandangan gelar profesor tujuannya bukanlah seperti saat ini. Bahkan kerap berstatus ganda, selain pengakuan akademik semata. Gelar profesor, sebenarnya adalah level tertinggi dibanding gelar akademik lainnya. Karena posisinya berbeda secara fungsi dalam lembaga perguruan tinggi, termasuk dengan tugas dan tanggung jawabnya.

Namun, maraknya pemberian gelar profesor bagi kalangan individu diluar praktisi akademik, sudah tentu menjadi catatan khususnya. Gelar kini konon dapat "diperjualbelikan", sesuai dengan kepentingan pribadi. Apalagi belakangan pun marak, kalangan pejabat dan politisi banyak yang mendapatkan gelar tersebu tanpa melalui proses dengan baik.

Sejarah Gelar Profesor di Indonesia

Tercatat dalam sejarah, bahwa gelar profesor pertama kali disematkan kepada Husein Djajadiningrat, dengan gelar profesor doktor. Ia adalah orang pertama yang memiliki gelar tersebut dari Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1913. Bersama dengan akademisi lain, Prof. Dr. Husein Djajadiningrat aktif dalam penelitian mengenai sejarah Banten, yang jadi desertasinya.

Dahulu, seseorang yang hendak mendapatkan gelar guru besar, harus memiliki dedikasi tinggi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Termasuk dengan tugasnya dalam penelitian ilmiah hingga pengabdian masyarakat. Dimana kala itu, geliat kebangkitan nasional menjadi aspek penting dalam upaya edukasi bagi bangsa Indonesia.

Maka wajar, jika para intelektual kala itu banyak terlibat dalam berbagai organisasi yang bertujuan membangun bangsa. Khususnya organisasi sosial dan kemasyarakatan, dan bukan politik. Perkembangan zaman pada masa revolusi Indonesia pun memberi ruang khusus bagi para peneliti untuk berkiprah bagi perjuangan, seperti Dokter Moestopo.

Namun, orientasinya mulai berubah sejak tahun 1960an. Banyak para profesor yang mulai tertarik dengan panggung politik, seperti Prof. Lie Oen Hock, SH, dekan Fakultas Hukum Universitas Res Publica. Konon afiliasi dengan PKI menjadi bagian yang tak terelakkan bagi para intelektual kala itu. Termasuk kampus Res Publica, yang kemudian dihancurkan para prahara 1965.

Sejak itulah, banyak guru besar yang bergabung secara tidak langsung dengan pemerintahan Orde Baru. Namun masih dalam konteks membangun bangsa, dengan beragam inovasi yang maslahat. Puncaknya adalah masa Prof. B.J. Habibie, dengan segudang karya yang jadi jembatan pembangunan teknologi Indonesia.

Namun, sejak masa Reformasi bergulir perspektifnya mulai bergeser, orientasinya lebih politis. Lantaran, para intelektual dituntut untuk memperbaiki keadaan bangsa. Termasuk para guru besar, sesuai dengan keahliannya di bidang masing-masing. Dimana seiring perkembangannya, tujuan mendapatkan gelar profesor mulai menuai beragam kritik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun