Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cek Khodam, antara Fakta atau Rekayasa

20 Juli 2024   04:30 Diperbarui: 20 Juli 2024   21:10 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak mengenal dengan istilah khodam? Sebuah manifestasi wujud ghoib yang konon menyertai setiap manusia. Namun, bagaimana kebenarannya, tentu masih banyak perdebatan bagi setiap kalangan. Khususnya dalam memahami arti atau makna yang jadi simbolisasi kehadiran sebuah khodam gaib.

Beberapa kepercayaan meyakini manifestasi ghaib dalam wujud khodam merupakan sebuah entitas perlindungan diri. Hal ini merujuk dari konsep sinkritisme antara simbol gaib dengan manusia. Pun dengan simbolisasi benda yang dianggap memiliki petuah dan kekuatan magis, dengan tujuan atau maksud yang tentunya menarik untuk dikaji.

Manifestasi simbolisasi entitas gaib itu faktanya memang pernah berkembang sejak masa animisme/dinamisme. Termasuk jenis khodam gaib yang bersifat abstrak. Entah berwujud hewan atau bentuk lelembut yang menyeramkan, seperti banyak dikisahkan dalam berbagai kitab-kitab Babad Tanah Jawi.

Tentunya sesuai dengan budaya dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Bukan dalam narasi bersekutu atau meyakini, melainkan sebagai ruang kritik terhadap realitas maraknya konten-konten kreator cek khodam. Lantas bagaimana sebenarnya cek khodam melalui pendekatan budaya dan tradisi?

Budaya dan Tradisi Mistis

Kritik terhadap perilaku ini kiranya pernah dikemukakan oleh Mochtar Lubis, dalam Manusia Indonesia (1977). Satu karakter yang sangat lekat dengan keseharian masyarakat Indonesia. Termasuk percaya terhadap hadirnya setan, dhemit, atau lelembut yang dipersepsikan sebagai entitas tak kasat mata disekitarnya.

Ada semacam ketertarikan magis yang menjadi ciri khas masyarakat tradisional. Tak lain adalah keyakinan terhadap entitas ghaib yang ada di sekitarnya. Kepercayaan mistik yang diturunkan secara tutur inilah kini dikenal sebagai aliran mistisisme. Namun lebih bersifat mutualistik sesuai dengan kebutuhan individu.

Sesuai dengan locus ini, Clifford Geertz dalam Mojokuto (1986), mendefinisikan realitas mistisisme melalui pendekatan tipologi sosial. Walau terbatas pada masyarakat Jawa sebagai ruang penelitiannya. Berbagai keyakinan mistis yang tampak dan berkembang dijelaskan telah menjadi perilaku sosial masyarakat sehari-hari.

Semua terbalut dalam tradisi yang diperkenalkan secara turun temurun. Sehingga menjadi budaya yang kemudian dikenal sebagai ciri khas daerah tertentu. Seperti Jaranan, yang dianggap sebagai tarian mistis namun ikonik dengan perpaduan kesenian tradisionalnya. Dimana para pemainnya disebut kerap bersentuhan dengan khodam gaib.

Pun dengan daerah lain di luar Jawa, yang kiranya memiliki tradisi serupa. Walau identifikasi entitas gaibnya memiliki wujud lain dengan karakteristiknya masing-masing. Termasuk dalam "penggunaan" khusus untuk kepentingan tertentu. Di Bali, kita tentu kenal Leak atau Pangleakan, sedangkan di Papua kita juga kenal Suanggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun