Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Demokrasi Followers

15 Juli 2024   22:15 Diperbarui: 18 Juli 2024   15:20 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Faktanya memang partai politik kini lebih memilih public figure (tokoh) yang populer dari pada kader ideologisnya. Pernyataan yang kiranya tengah memberi kesan negatif dalam ruang demokratisasi. Tak lain karena sulitnya bersaing secara natural tanpa ada unsur pemain "cabutan" alias non partai. Khususnya kala gelar demokrasi hendak dilakukan di berbagai level.

Catatan penting dari Pemilu sebelumnya menyoal popularitas para tokoh memang menjadi daya tarik utama. Termasuk keterlibatan dari para selebriti dengan berjuta followers-nya. Inilah realitas demokrasi yang dapat dinilai melalui daya dukung komunitas maya. Tanpa mampu tersentuh secara ideologis, lantaran sifatnya yang apolitis.

Apalagi perihal konten yang secara dominan sekedar menampilkan simbolisme dari pada sosialisasi ideologisasi politik. Sialnya, para followers pun sekedar "menelan bulat-bulat" tanpa ada upaya literatif kritis dengan bersikap latah dan ikut-ikutan. Suatu sikap yang pernah disinggung oleh Koenjtaraningrat (1990), menyoal perilaku negatif dari masyarakat Indonesia.

Termasuk dalam sikap meremehkan hal yang esensial dari pada kepentingan umum. Hal ini menegaskan bahwa ideologi bukan lagi dianggap sebagai landasan gerak, melainkan sebatas simbolisasi identitas. Dalam ruang digital, tentu hanya konten menarik dan unik yang kerap mendapatkan perhatian lebih. Daripada suatu konten yang bersifat ideologis maupun akademis.

Uniknya, publik pun seakan memiliki pola serupa, seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Mochtar Lubis, perihal hipokritisme. Sekedar memberi kesan positif dengan mode "taqlid", tanpa ragu publik memberi "dukungan" tanpa pikir panjang. Sedekar tenar, dan kerap didengar, pilihan politik seakan telah sampai pada bilik-bilik suara.

Inilah realita politik kontemporer yang jauh dari idealismenya. Maka wajar, jika partai politik lebih berkenan mengusung public figure ataupun artis "ngetop" yang punya followers nyata. Dalam hal ini, metode apapun tentu tidak dapat dijadikan orientasi ideologis, jika telah bersentuhan dengan dunia maya.

Ilustrasi followers media digital (sumber: shutterstock via kompas.com)
Ilustrasi followers media digital (sumber: shutterstock via kompas.com)

Para pelaku politik bukan lagi mereka yang lahir secara ideologis dari proses kaderisasi panjang sebuah partai. Seperti yang dijelaskan oleh V. Wahyudi (2018), perihal politik digital di era revolusi industri 4.0. Dimana saat ini proyeksinya justru telah melampaui hal itu. Pelaku politik telah bertransformasi dari ideologis menjadi popularitas ekonomis.

Sehingga wajar, jika pola-pola kaderisasi partai banyak yang mulai meragukan keabsahannya. Lantaran perihal "pemain cabutan" kerap muncul sebagai alternatif yang disajikan. Maka, wajar jika ketercapaian yang menjadi harapan publik justru menyimpang dari janji-janji politik kala kampanye berlangsung.

Apalagi dengan narasi apologetik yang tidak mencerminkan perilaku politik paripurna. Suatu ralitas yang kerap kita temui ketika visi dan misi tidak dapat diwujudkan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, uniknya, perilaku demikian seakan menjadi kebiasaan yang tak kunjung usai.

Melihat fenomena ini, tentunya adalah kesadaran politik masyarakat yang justru menjadi penting. Pemahaman perihal visi dan misi yang realistik dalam proyeksi ketercapaian, ataupun figur yang ideologis. Sejarah mencatat, bahwa popularitas tanpa ideologi maka akan menghasilkan persoalan kebijakan publik.

Catatan yang memang dapat diambil dari rekam peristiwa kabinet Djuanda pada tahun 1957. Zaken Kabinet yang dibentuk adalah sebuah upaya mengembalikan politik sesuai dengan tujuannya membangun bangsa. Selain mengurai konflik politik yang berlatar popularitas semata dari setiap partai kala itu.

Gonta-ganti kabinet ataupun Menteri yang terjadi kala itu dianggap sebagai wujud tidak paripurnanya Pemerintah dengan mode popularitas. 

Nah, bagaimana dengan saat ini dan masa-masa yang akan datang? Tentu kita hanya dapat memberi pandangan secara terbuka. Dengan harapan positif bagi masa depan demokrasi bangsa yang lebih baik lagi.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun