Kiranya kebijakan untuk mendatangkan dokter asing ke Indonesia tengah mengalami benturan dengan upaya program pendirian fakultas kedokteran baru.Â
Salah satu kebijakan penting yang dijadikan agenda utama oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. Tak lain demi mengurangi minimnya dan pemenuhan kebutuhan dokter di Indonesia.
Benturan kebijakan ini dapat menjadi abstraksi realita dunia kesehatan kita saat ini. Kebutuhan dokter di berbagai pelosok wilayah Indonesia, memang kerap menjadi wacana publik. Khususnya pada area 3 T, yang minim sarana dan prasarana. Aksesibilitas yang menjadi aspek penting, memang krusial dalam tujuan pemeratan hak kesehatan bagi masyarakat.
Dalam hal ini, jika mengacu pada Undang-Undang Kesehatan Tahun 2024, pengadaan dokter asing memang menjadi prioritas.
Walau masih banyak kontroversi yang menyertai kebijakan tersebut. Khususnya dokter spesialis yang kini dianggap minim secara kuantitas. Perbandingannya tentu dengan melihat luas wilayah Indonesia, dengan beragam realitas geososialnya.
Seakan ada benturan kepentingan yang tarik ulur dalam konteks pengadaan tenaga kesehatan. Bukan mengasumsikan secara kualitas yang seakan dipertanyakan. Melainkan secara rasional melihat fenomena kebutuhan masyarakat yang harus dilaksanakan sesuai amanat UUD 1945 Pasal 34 Ayat 3.
Dokter Asing Untuk Siapa?
Jika konsepnya adalah demi kepentingan masyarakat dalam hak kesehatan, maka pertanyaan kemudian yakni keterbutuhan logisnya.
Secara ekonomi, masyarakat yang mengandalkan hak sehat melalui BPJS apakah akan mendapatkan hak serupa. Semisal dengan seorang pasien berbiaya mandiri.
Sesuai data dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per tahun 2024, jumlah dokter yang teregistrasi sebanyak 279.321 orang. Dimana 62,4 persennya adalah dokter umum.