Bahkan Jamaluddin Tamim pernah menceritakan secara singkat, bagaimana Tan Malaka kemudian diketahui menjalin hubungan dengan seorang perempuan Belanda. Ia tidak larut dalam kesedihan, walau Syarifah adalah cinta pertamanya.
Di Belanda, Tan Malaka dekat dengan Fenny Struijvenberg. Seorang terpelajar yang dianggapnya jauh dari jerat feodalisme. Namun fakta bahwa Fanny berasal dari kalangan terpandang inilah yang akhirnya membuat Tan Malaka dilema.
Pergolakan yang terjadi di Belanda, pada akhirnya membuat Tan Malaka memilih untuk fokus pada organisasi terpelajar. Revolusi Rusia 1917, membuat suasana Eropa makin tidak menentu. Hingga membuatnya memilih kembali ke Indonesia.
Selama kembali di Indonesia pada tahun 1919, ia memilih untuk jadi pengajar di Deli, dan aktif di ISVD. Tan Memilih untuk "join" dengan Sarekat Islam Merah, yang terafiliasi dengan kelompok komunis. Dalam masa ini, ia cenderung memilih untuk jadi aktivis pergerakan.
Sepak terjangnya pun mencuri perhatian polisi Hindia Belanda. Alih-alih dianggap berbahaya, maka ditangkaplah Tan Malaka, untuk diasingkan ke Belanda. Selama tahun 1922, aktivitasnya makin meningkat, di Eropa, dan Soviet pun menaruh perhatian padanya.
Apalagi sejak menulis buku Naar de Republiek Indonesia di Kanton pada tahun 1925. Lagi-lagi ia menjadi buronan polisi internasional. Namun, pilihannya tidak lagi ke Indonesia, lantaran gerakan komunis tengah dihancurkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1925, Tan Malaka memilih Filiphina sebagai tujuan perjuangannya. Selama disana, ia diketahui sempat dekat dengan seseorang perempuan bernama Carmen. Hingga pada suatu waktu membuatnya kembali ditangkap, dan diasingkan kembali ke China.
Tak jelas bagaimana kisah selanjutnya bersama Carmen. Lantaran Tan Malaka memilih untuk mengasingkan diri sejak tahun 1927. Hingga diketahui ia tinggal di Shanghai selama beberapa tahun.
Selama di Shanghai, Tan Malaka disebut sangat dekat dengan seorang perempuan yang mendampinginya. Pun kala ia berada di Xiamen, ada seorang perempuan berinisial AP, yang selalu memberi kabar tentang kondisinya.
Tan Malaka memang diketahui hendak kembali ke Indonesia, dengan jalan tujuan Singapura, dan kemudian ke Sumatera pada kisaran tahun 1942. Yakni selama Jepang berkuasa dengan segala realita pergerakan dan keadaan sosial yang memprihatinkan.
Baru pada tahun 1945, Tan Malaka menampakkan dirinya di Jakarta. Ia menemui Ahmad Soebardjo yang telah dikenalnya selama berada di Eropa. Alih-alih takjub dengan peristiwa Proklamasi, Tan Malaka justru kepincut dengan keponakan Subarjdo, Paramita Abdurrahman.