Maka wajar jika tingkat resistensi sosial meningkat, seiring mendekatnya prosesi pemilu di tahun 2024 mendatang. Lantaran ada hal yang seolah "dibiarkan" terjadi, seperti harga kebutuhan pangan yang perlahan semakin tinggi.
Secara politis, hal ini tentu saja dapat dianggap sebagai bagian dari agenda "mengambi hati" para konstituen. Dengan target, mereka yang ada di barisan akar rumput. Ruang kebutuhan terhadap stabilitas ekonomi, menjadi harapan yang tentu sangat dinanti.
Ruang inilah yang menjadi dasar analisis, bahwa ketimpangan sosial dapat dipolitisasi sebagai agenda mengambil simpati publik. Entah melalui kebijakan publik yang tiba-tiba diterapkan, dengan narasi-narasi politisnya, atau dengan metode lain?
Dalam hal ini, kiranya inilah batasan yang sekedar menjadi analisis politik dari realitas sosial yang tampak. Apalagi jelang gelaran Pemilu dilaksanakan. Berbagai pengalaman negatif yang menjadi catatan di masa lalu, sudah seharusnya dapat membuat kita mawas.
Mawas dalam bentuk kesadaran diri atas realitas yang tampak. Serta dapat dijadikan edukasi kepada masyarakat, secara baik dan bijak. Bukan justru dijadikan narasi-narasi yang mengkerdilkan demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Jadi, keberpihakan politis yang muncul akan berangkat dari kesadaran moral, demi masa depan bangsa yang lebih baik. Bukan atas faktor keterpaksaan, yang menjadi dasar dukungan irasional. Dimana visi dan misi sudah seharusnya dijelaskan secara realistis.
Tanpa peran dari masing-masing paslon untuk memberi edukasi politik secara komprehensif. Khususnya terhadap para relawan dan pendukungnya. Baik pasangan dari Anies Baswedan, Prabowo Subianto, ataupun Ganjar Pranowo.
Apalagi pada debat putaran kedua, membahas tema perihal ekonomi kebangsaan. Semoga dapat mencerahkan bagi kita semua. Salam pemilu damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H