Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangka Jayabaya Dalam Realitas Kontemporer

8 Desember 2023   09:02 Diperbarui: 8 Desember 2023   09:02 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Prabu Jayabaya, Raja Kediri (sumber: kompas.com)

Pertama, tulisan ini sekedar berbagi informasi perihal "ramalan" atau pandangan orang-orang masa lampau terhadap masa depan bangsa Indonesia. Baik dalam laku sosial, politik, ataupun budaya, yang dapat dipahami melalui pendekatan sastra.

Jadi, bukan merupakan rujukan yang dapat dijadikan pemahaman kebenaran, walaupun banyak diantaranya sesuai dengan realitas yang terjadi saat ini. Bahkan pada masa-masa lampau, seiring peralihan zaman dalam realitasnya masing-masing.

Kedua, Jangka Jayabaya sejatinya bukanlah berasal dari Prabu Jayabaya secara mutlak. Melainkan saduran dari berbagai kitab-kitab masa lalu yang menjelaskan realitas di masa datang. Lantaran isi dari "ramalan Jayabaya", disadur dari kitab bernama Musasar.

Nah, kitab Musasar ini merupakan gubahan dari Sunan Prepen pada masa Kesultanan Giri Kedaton berdiri, sekitar abad ke 15. Dalam sebuah jurnal sastra, Djoko Sumarsono (2019) pun menjelaskan perihal kiprah Sunan Prepen dalam pembuatan kitab tersebut.

Tak lain berangkat dari realitas zaman di masa lalu, dalam konteks pergantian kerajaan, pemerintahan, perilaku politik, serta masuknya berbagai budaya baru. Walau banyak pendekatan yang bersifat mistis atau bersumber dari laku spiritual Prabu Jayabaya.

Kita ketahui bahwa Prabu Jayabaya adalah salah seorang Raja besar dari Kerajaan Kediri, yang pernah berkuasa sekitar tahun 1135 hingga 1159.

Jangka Jayabaya Dalam Berbagai Realitas di Indonesia

Alan H. Feinstein (1994) menjelaskan korelasi Jangka Jayabaya dengan realitas yang dialami bangsa Indonesia. Tak lain karena sifatnya yang berhasil melampaui zaman, dalam pandangan perihal kehidupan kontemporer.

Ada semacam prediksi dalam berbagai diksi yang menarik untuk disimak, dalam konteks perkembangan zaman, seperti:

1. Besuk yen wes ana kereta tanpa jaran, artinya besok jika sudah ada kereta tanpa kuda. Semacam munculnya kendaraan modern.

2. Tanah Jawa kalungan wesi, artinya Pulau Jawa berkalung besi. Tak lain adalah masa kehadiran kereta api.

3. Prahu mlaku nang dhuwur awang-awang, artinya perahu berjalan di angkasa. Semisal lahirnya era pesawat terbang.

4. Kali ilang kedhunge, artinya sungai kehilangan mata air. Yakni, sungai-sungai yang menjadi dangkal karena faktor pembangunan.

5. Pasar ilang khumandang, artinya pasar kehilangan keramaian. Hadirnya berbagai pasar digital yang kita ketahui saat ini.

Selain itu, ada beberapa ungkapan yang menarik dalam realitas politik, seperti:

1. Akeh janji ora ditepati, artinya banyak janji yang tidak ditepati. Tak lain adalah para pejabat yang berumbar janji kala kampanye.

2. Akeh wong wani langgar sumpah, artinya banyak orang berani melanggar sumpahnya. Semisal kasus korupsi para pejabat publik.

3. Wong jahat munggah pangkat, artinya orang jahat naik pangkat. Apalagi jika bukan mantan koruptor yang jadi pejabat.

4. Ratu ora nepati janji, artinya pemimpin yang tidak menepati janji. Dalam hal ini tentu bagaimana kita melihatnya secara realistis.

5. Kana kene rebutan unggul, artinya disana sini berebut menang. Tak lain adalah iklim politik yang hanya fokus pada elektabilitas.

Dalam aspek budaya, ada beberapa realitas yang sekiranya terjadi saat ini, seperti:

1. Wong wadhon nggawe pakaian lanang, yang menjelaskan perihal gaya perempuan kelaki-lakian.

2. Wong lanang koyok wong wadhon, yang menjelaskan sebaliknya, yakni laki-laki yang menyerupai perempuan.

3. Lali sanak uga lali kadang, yang menjelaskan perihal sikap individualistik dengan melupakan saudara dan sesama.

Termasuk beberapa pandangan terkait peristiwa sejarah Indonesia, seperti:

1. Semut ireng anak-anak sapi, yang tak lain mengenai kedatangan bangsa Eropa yang gemar minum susu ke Indonesia.

2. Kebo nyabrang kali, yang serupa dengan pandangan diatas, yakni banyak orang Eropa datang ke Indonesia.

3. Kajajah saumur jagung karo wong cebol, yang diidentifikasi sebagai masa penjajahan Jepang dengan waktu singkat.

...

Dimana dalam berbagai tulisan sejarah kerap disebutkan bahwa, peristiwa penjajahan di masa lalu adalah fakta yang dapat dikaitkan dengan Jangka Jayabaya. Termasuk akan hadirnya Satrio Piningit, yang menjadi simbol kejayaan bangsa Indonesia kelak.

Persoalan Satrio Piningit atau dikenal dengan Ratu Adil inilah yang juga kerap dikaitkan dengan kepentingan politik. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, pernah dijadikan alat propaganda Jepang ketika datang ke Indonesia.

Uniknya, pada masa revolusi, kalimat Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) juga dipakai tentara Westerling (NICA) untuk melancarkan aksi pemberontakan di Bandung. Bahkan di beberapa waktu kala Pemilu, Satrio Piningit ini kerap dikaitkan dengan tokoh tertentu.

Namun, yang patut dipahami adalah keterikatan budaya bangsa Indonesia, khususnya Jawa, terkait Jangka Jayabaya masih terus diyakini hingga kini. Walau banyak yang memiliki argumen lain sebagai dasar prediksi yang belum tentu benar terjadi nanti.

Wallahu A'lam Bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun