Aksi boikot ekonomi yang tengah diwacanakan masyarakat dunia terhadap produk-produk asal Israel kiranya dapat dipahami sebagai respon internasional terhadap kecamuk konflik di Palestina. Tak lain karena boikot dianggap mampu memberi dampak signifikan.
Khususnya dalam stabilitas ekonomi Israel yang menggantungkan perekonomiannya dari berbagai sekor komoditi publik. Seperti dalam sektor makanan dan minuman, atau bahkan dalam kebutuhan sekunder masyarakat dunia.
Bahkan kerjasama bilateral pun dianggap sebagai faktor utama yang dapat mempengaruhi kebijakan finansial Israel. Khususnya dalam aspek militer, yang dikampanyekan terhadap rakyat Palestina. Militer tidak akan berjalan jika daya dukung ekonomi lemah.
Analisis tersebut merupakan sebuah refleksi yang pernah dikemukakan oleh Francis Fukuyama dalam "The End of Histoy and The Last Man". Bahwa kemenangan dunia barat tak lain bersumber dari kekuatan ekonominya yang kuat.
Hal tersebut menjadikan dunia barat dapat mengoptimalisasi kekuatan militer sebagai pendukung politik liberalisasinya. Kapitalisme yang dianggap sebagai penyokong kemajuan teknologi sejak masa Perang Dingin, selalu diwujudkan dalam bentuk kekuatan senjata.
Sama halnya dengan peristiwa Perang Enam Hari yang pernah berkecamuk di Palestina pada tahun 1967 silam. Kekuatan militer Israel bersumber pada daya dukung ekonominya yang superior. Tak luput dari peran negara-negara sekutunya melalui ikatan politik.
Charles Stewart Parnell dalam Encyclopaedia Britannica mempopulerkan istilah boikot ini ketika peristiwa protes mengenai hak sewa tanah yang tinggi mengemuka di Irlandia. Yakni dengan cara mengucilkan perusahaan perkebunan milik Inggris disana.
Namun, seiring perkembangan zaman dan ideologi, justru kalangan pekerja dan buruh yang kerap melakukan aksi boikot. Terlebih kala ideologi Marxisme menguat sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme.
Maka wajar, jika hingga kini aksi boikot dianggap identik dengan gerakan "kiri". Hal ini tentu menjadi penting, jika berkenaan dengan persepsi kemandirian ekonomi pada sebuah negara. Daya dukung ekonomi, tentu menjadi faktor kuat lemahnya negara.
Termasuk Israel yang menerapkan kebijakan ekonomi terbuka sesuai dengan dogma dalam Immamat. Daya dukung kekuatan militer Israel memang bersumber pada perilaku ekonomi Israel dengan bangsa lain. Baik melalui pendekatan diplomatis atau bilateralnya.