Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah di Balik Slogan "From the River to The Sea, Palestine Will be Free"

13 November 2023   05:45 Diperbarui: 17 November 2023   10:15 1731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Frasa "From the River to the Sea, Palestine will be Free" pada sebuah aksi (sumber: AP Photo via kompas.tv)

Kiranya kita pahami, bahwa gerakan pro Palestina semakin meluas dan bertambah masif di berbagai negara. Khususnya perihal krisis kemanusiaan yang telah merengut banyak korban jiwa di Palestina. Ini bukanlah sekedar politik, melainkan soal rasa kemanusiaan.

Banyaknya nyawa tak berdosa yang terdampak dari okupasi militer tentara Israel pun memberi pandangan faktual bagi bangkitnya humanisme internasional. Tanpa ada sekat agama, dan keyakinan yang dianut masing-masing aktivis pro kemerdekaan Palestina.

Hingga frasa "From the River to the Sea" dijadikan slogan perjuangan dan dukungan bagi rakyat Palestina. Masyarakat dunia kiranya memahami, apa makna dari kalimat tersebut. Terlebih usai bombaerdemen kamp pengungsian dan rumah sakit terjadi di Gaza.

Bukan sekedar kalimat protes, melainkan sebuah kalimat pernyataan yang mengandung harapan. Harapan bagi masa depan bangsa Palestina, dengan haknya sebagai negara merdeka. Dimana frasa tersebut kemudian diteruskan dengan kalimat "Palestine will be free".

Kita tentu dapat menilainya dari sudut pandang kemanusiaan. Bukan dari justifikasi rasialis ataupun legitimasi atas nama agama tertentu. Masyarakat dunia kiranya tengah menaruh perhatian atas krisis kemanusiaan di Palestina.

Kisah Dibalik "From the River to the Sea, Palestine will be Free"

Mandy Turner dalam "From the River to the Sea Palestine and Israel in the Shadow of Peace" (2019), menjelaskan bagaimana gerakan protes menentang Israel memicu berbagai tindak kekerasan. Baik yang terjadi di Gaza, Tepi Barat, ataupun Jerusalem Timur.

Dengan kecenderungan banyaknya terjadi pelanggaran HAM berat yang lebih mengarah kepada aksi genosida. Khususnya di Gaza, sebagai area konflik terbuka dengan pendekatan militeristik Israel. Terlebih pasca peristiwa Nakba di tahun 1948 silam meletus.

Termasuk kebijakan negara "donor" terhadap Israel untuk terus melakukan okupasinya terhadap wilayah Palestina. Catatan penting bagi Mandy Turner adalah, Israel tidak akan membiarkan Palestina berdiri sebagai negara yang berdaulat hingga kapanpun juga.

Sebuah anomali yang kontradiktif dalam sejarah kedatangan bangsa Yahudi di tanah Palestina. Toufic Haddad, salah satu kontributor Mandy Turner, dalam The Gaza Strip and The Political Economy of Crisis, menjelaskan secara rinci konsep anti-kemanusiaan di Gaza.

Bagaimana Gaza dijadikan area konflik politik, sosial, dan ekonomi, lantaran secara geografis berbatasan dengan Mesir. Haddad pun menjelaskan, bagaimana tentara Israel memberlakukan penduduk Gaza secara konsisten untuk menjadi sasaran militer dan ekonomi.

Pun dengan bantuan dari negara-negara lain yang memberi dukungan kepada Palestina. Israel memegang kontrol penuh otoritas di Gaza, dalam memberikan akses bagi siapapun dan apapun yang masuk ke wilayah Gaza. Dengan istilah Gaza Blockade.

Hal tersebut dilakukan hanya untuk meredam paham nasionalisme penduduk Gaza, pasca gerakan Intifada yang terjadi pada tahun 1987 dan 2000. Selama kurun waktu pendudukan Israel itulah istilah "From the River to the Sea" mengemuka.

Namun bukan untuk tujuan politik, melainkan dalam wujud kemanusiaan. Kebijakan apharteid Israel bagi penduduk Palestina, untuk mendapatkan hak hidup dan penghidupan menjadikan "From the River to the Sea" sebagai kalimat penyetaraan, seperti ungkap Mandy.

Penyetaraan dalam hak sebagai manusia merdeka tanpa ada penindasan dan perampasan hidup. Dimana secara faktual, aktivis pro Palestina dari komunitas Yahudi ortodoks pun memakai frasa serupa dalam menyuarakan hak-hak penduduk Palestina.

Artinya bahwa, frasa tersebut bukanlah perihal sentimen anti-semit, seperti yang mengemuka belakangan ini. Apalagi bernarasikan konflik antar agama. Dasar kemanusiaanlah latar belakang utama frasa tersebut menjadi slogan masyarakat internasional.

Selain dari kalimat "Palestine will be free" yang tentu saja menjadi tujuannya. Sama halnya dengan Indonesia, kala Belanda hendak menguasai kembali Tanah Air yang telah merdeka. Dengan slogan "Freedom is the glory of any nation, Indonesia for Indonesian".

Kiranya kita tidak lupa peristiwa Black Armada yang digelorakan para buruh Australia untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Pun dengan slogan Nelson Mandela "Nothing is black or white", yang pernah menjadi simbol perlawanan anti apharteid dunia.

Jadi, pada dasarnya kalimat serupa akan kita temui sebagai simbol perlawanan atas penindasan yang terjadi dimanapun itu. Seluruh penduduk Palestina dari sungai Yordan di sebelah timur, hingga laut Mediterania di sebelah barat memiliki haknya untuk merdeka.

Sebagai bangsa yang bebas dari berbagai bentuk okupasi dan aksi pelanggaran HAM atas dasar kemanusiaan. Maka wajar jika masyarakat Internasional dari berbagai kalangan menyuarakan frasa senada dalam setiap aksi gerakan pro-Palestina.

Kita dapat pahami bagaimana gerakan atas kemanusiaan menjadi sorotan penting masyarakat modern saat ini. Tanpa sekat agama, ideologi, atau keyakinan, yang  kerap dijadikan alasan perselisihan. Rasa keprihatinan dijujung tinggi sebagai basic seorang manusia.

Rasa kemanusiaan hadir melebihi segala konflik yang ada. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Moh. Hatta; "Badan orang bisa dirantai, tetapi semangat merdeka tidak dapat diikat". Kemerdekaan setiap bangsa adalah mutlak, dan selalu diperjuangkan bersama.

Hal inilah yang jadi alasan, dalam memberi penilaian terhadap krisis kemanusiaan di Palestina. Tak terkecuali narasi "Palestine will be free", yang hadir atas prinip dan semangat anti penjajahan di era modern saat ini.

Selain dari fakta, bahwa Dewan Keamanan PBB hingga kini belum dapat berbuat banyak dalam menyelesaikan krisis di Palestina. Baik perihal persoalan standar ganda dari negara-negara adikuasa, ataupun perihal realitas politik global.

Serta berbagai pertanyaan, mengapa kita harus memberi dukungan kepada bangsa Palestina. Kita tentu memiliki jawabannya masing-masing. Semoga bermanfaat, salam damai, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun