Bahkan di era Reformasi, harapan perubahan bergulir seiring persoalan krisis yang kala itu melanda Indonesia. Lagi-lagi dari kalangan intelektual, dengan basis massa yang terorganisir dalam tujuan bersama.
Berikut dengan masa pasca Reformasi, yang lebih dominan dalam mencapai masa Indonesia Emas. Proyeksi masa depan bangsa pun kembali diamanatkan kepada generasi muda. Dengan berbagai inovasinya untuk memantapkan peran Indonesia di kancah dunia.
Walau realita yang dihadapkan para pemuda saat ini lebih kompleks dibandingkan dengan masa lalu. Seperti yang pernah diutarakan oleh Bung Karno, pada bulan November 1961;
"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena mewalan bangsa sendiri".
Pernyataan Bung Karno tersebut kiranya adalah sebuah abstraksi yang dihadapi generasi saat ini. Ikatan persatuan dan kesatuan dalam skala kecil (lingkungan sosial), mulai bias makna seiring perkembangan zaman dan teknologi.
Anomali yang tampak semakin mengkhawatirkan dalam locus budaya asing dengan determinisme terstrukturnya. Ada semacam liberalisasi budaya tanpa ada upaya untuk menekan lajunya. Hingga membuat norma dan etika seakan tak lagi jadi identitas bangsa.
Maka wajar jika Fukuyama (2005) mendeskripsikan realitas ini dalam "Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tatanan Sosial Baru". Kemajuan teknologi dan informasi membuat perubahan besar dalam setiap masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Budaya individualistik lebih masif berkembang dibandingkan gerakan humanisasi. Dengan narasi kemerosotan moral yang muncul dalam berbagai perilaku negatifnya. Hal yang tentunya dapat membuat ruang disintegrasi muncul sebagai problematika bangsa.
Menyongsong Indonesia Emas, bukan sekedar memprediksi apa yang akan diperoleh bangsa ini kelak. Melainkan bagaimana dapat saling mempersiapkan diri, khususnya generasi muda, dalam menghadapi era society 5.0 dan industri 4.0.
Ruang transenden pun dapat dijadikan pandangan yang kiranya mampu membatasi kebebasan melampaui batas. Ditambah dengan penguatan budaya, dengan harapan positif bagi penguatan identitas bangsa.
Bukan sekedar termanifestasikan dalam pola seremonial, namun lebih mengarah pada kesadaran diri yang terasosiasi melalui ruang edukasi. Kiranya catatan ini dapat memberi abstraksi realistik yang dihadapi generasi muda saat ini, tanpa adanya sebuah kritik.