Saling memperebutkan dukungan massa generasi muda, memang menjadi topik abadi di ruang politik. Tak lain karena sifatnya yang cenderung apolitis, dan belum dapat dikatakan memahami secara utuh realitas politik.
Generasi muda memang menjadi arena perebutan suara yang memiliki potensi besar, apalagi jelang pemilu tiba. Pun kala transisi masa Orde Lama ke Orde Baru, dengan berbagai proyeksi yang akhirnya menihilkan peran pendidik dalam ruang politik.
Walau dikatakan masih memiliki hak suara untuk menyampaikan pendapat. Khususnya pada kebijakan yang mengarah pada locus pembelajaran, yang tentunya wajib berpedoman melalui asas tunggal Pancasila sebagai ideologi negara.
Pada masa Orde Baru memang, terjadi kooptasi kepentingan pemerintah dengan aturan baku dunia pendidikan. Demi meminimalisir mengemukanya kelompok-kelompok yang dianggap memiliki hasrat politik, khususnya dari kalangan intelektual (pendidik).
Puncaknya tak lain adalah masa Reformasi di sekitar tahun 1997-1998 silam. Kalangan intelektual dapat dikatakan menjadi salah satu motor penggerak terjadinya aksi besar-besaran dari lingkungan pendidikan.
Kiranya identifikasi serupa pun terjadi kini. Ruang edukasi politik yang seharusnya mencerdaskan generasi muda, sudah barang tentu menjadi agenda yang harusnya terproyeksikan bersama. Tak lain guna memberi penyadaran politik secara positif.
Bukan justru mengafiliasikan diri (pendidik) dengan berbagai kegiatan politik praktis. Dengan memberi tendensi subjektif terhadap konstelasi politik yang faktual. Apalagi sampai melibatkan kalangan pelajar, yang tentunya memiliki hak merdeka dalam memilih.
Hal ini dapat dikatakan sebagai demoralisasi demokrasi dalam wujud serupa di masa Orde Lama. Kepentingan politik yang sampai pada lingkungan pendidikan sama halnya dengan mendeskreditkan makna kebebasan dalam menentukan pilihan politis.
Tanggung jawab moral sebagai seorang pendidik yang tak lain adalah memberi edukasi positif, justru ternodai akibat perspektif subjektif atas pilihan yang tak berkeadilan. Ini kiranya adalah kritik dan evaluasi atas realitas politik yang faktual saat ini.
Pelibatan kalangan pendidik, hingga membuka ruang pendidikan sebagai arena kampanye harus dipahami secara baik. Dengan tetap mengedepankan prinsip demokratisasi bagi konstituen muda. Khususnya bagi para pelajar, dengan hak pilihanya masing-masing.
Semoga dapat menjadi evaluasi bersama bagi semua, khususnya bagi para pendidik. Salam pemilu damai, dan terima kasih.