Tak ada yang lebih berperan dari pada seorang pendidik dalam memberi edukasi politik bagi setiap generasi. Bahkan tercatat dalam sejarah, bahwa melalui seorang pendidiklah proyeksi kemerdekaan dapat mengudara bersama tekad perjuangan.
Baik seorang ulama, guru, ataupun kalangan terpelajar, yang notabene mampu mengedukasi khalayak melalui pendekatannya masing-masing. Kiranya kita paham, bagaimana Sang Guru Bangsa, HOS. Cokroaminoto mampu memberi penyadaran perjuangan.
Termasuk apa yang diupayakan oleh Ki Hajar Dewantara, melalui Taman Siswa. Penyadaran akan hak sebagai rakyat yang merdeka terorientasi pada aspek pendidikan rakyatnya. Pun demikian dengan kesadaran berbangsa dan bernegaranya.
Pada masanya memang, tujuannya tak lain adalah kemerdekaan. Namun, seiring tercapainya kemerdekaan itu, proyeksi para pendidik mulai berubah. Keterlibatan para pendidik dalam politik semakin masif dalam upaya mendapatkan pengakuan yang jelas.
Tepat seratus hari kemerdekaan Indonesia, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pun berdiri, pada 25 November 1945. Namun bukan perihal statusnya sebagai organisasi para pendidik. Melainkan dari orientasi politik yang berkembang pada masanya.
Afiliasi terhadap partai politik tertentu, kala itu memang menjadi hasrat bagi kalangan intelektual, termasuk para pendidik. Perjuangan dianggap tak melulu dengan angkat senjata, melainkan dengan penyadaran terhadap realita yang ada.
Kecenderungan kuat dalam ruang politik itulah yang akhirnya membuat para pendidik pernah terpecah belah ketika berjuang. Catatan sejarah menarasikannya dalam polemik politisasi pendidik melalui konflik internal di tubuh PGRI pada tahun 1962.
Kuncoro Hadi, pada Kronik '65, menjelaskan adanya PGRI vaksentral dan non-vaksentral. Dimana afiliasi PGRI vaksentral tetap fokus pada proyeksi pendidikan yang nasionalis. Sedangkan PGRI non-vaksentral, lebih condong kepada orientasi politik PKI.
Inilah cikal bakal perseteruan antar kaum intelektual (khususnya pendidik). Apalagi pada kurun 1962-1965, tensi politik semakin memanas antar golongan. Baik antar kelompok Agama, Nasionalis, ataupun Komunis, yang terfaksi dalam setiap partai kala itu.
Bukan sekedar tersekat dalam orientasi politiknya masing-masing, namun kerap melibatkan golongan pelajar yang menjadi tanggung jawab mereka. Pelibatannya tak lain adalah demi kepentingan politik dari setiap partai yang terafiliasi oleh para pendidik.