Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kaesang Jadi Ketum, Manuver Blunder PSI?

27 September 2023   05:45 Diperbarui: 27 September 2023   05:48 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaesang Pangarep saat dilantik sebagai Ketum PSI (sumber: Kompas.com/Regi Pratasyah Vasudewa)

Siapa sangka, ditengah iklim politik yang kian panas, ada gebrakan unik dari sebuah partai yang didominasi oleh kalangan muda. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang sebelumnya dipimpin oleh Giring Ganesha, kini dinahkodai oleh Kaesang Pangarep.

Tak luput dari anomali politik pasca bubarnya koalisi Perubahan, dan keputusan bergabungnya partai Demokrat bersama Gerindra. Kini, permainan politik anak-anak muda dari PSI kiranya memberi realitas politik yang progresif dan reaktif.

Progresif dalam sudut pandang yang konon tidak sesuai dengan mekanisme kepartaian. Lantaran tanpa ada proses kaderisasi yang baik, dan secara tiba-tiba, figur diluar kader PSI justru langsung menjabat sebagai ketum. Reaktif, dalam proses pragmatisnya.

Apalagi jika mengenal sosok Raja Juli Antoni, yang kiranya sangat paham pola perkaderan. Baik melalui mekanisme rekruitmen, dan proses kaderisasi, yang jadi simbol penting dalam sebuah organisasi. Khususnya jika seorang figur hendak didaulat sebagai ketum.

Maka, wajar jika kemudian keputusan PSI ini dianggap sebagai blunder politik. Dengan membuka potensi kekecewaan kader partai di tingkat bawah. Jenjang kaderisasi tidak lagi menjadi prioritas dalam kematangan proses politik di tubuh PSI.

Semua hanya fokus pada upaya mendongkrak suara, jelang gelaran pemilu 2024 mendatang. Dengan target, tentu saja kalangan anak muda. Sebagai representasi dari strategi politik PSI yang memiliki pendekatan uniknya.

Melepaskan identitas ideologis, tentu dapat membuat PSI dianggap sebagai partai simbolis. Jauh dari orientasi realisasi visi misi yang seharusnya menjadi ruang edukasi bagi para konstituen. Dalam hal ini tentu adalah proses demokrasi dalam tubuh PSI yang disoroti.

Walaupun secara resmi PSI telah menegaskan mekanisme organisasi internal dalam proses pemilihan sebagai ketum. Pun demikian, kala Giring Ganesha pada periode sebelumnya, naik menjadi ketum partai. Inilah yang membuat PSI berbeda dengan partai lain.

Padahal, kala kepemimpinan sebelumnya, jumlah perolehan suara PSI pun tidak masuk sampai ke parlemen. Dengan daya dukung sosial politiknya yang rendah. Kiranya PSI dapat mengambil pelajaran dari persoalan elektabilitas sebagai refleksinya.

Baik di tingkat pusat, atau bahkan di tingkat daerah, dengan kebijakan partai yang lebih realistis. Serta bukan sekedar memberi beban politik bagi para kadernya, untuk berjibaku mencari dukungan publik. Pada masa-masa kampanye politik partai.

Realitas inilah yang kiranya pernah menjadi bahan diskusi penulis bersama mantan DPC PSI Kalideres, Jakarta, beberapa waktu silam. Tak lain guna memberi wacana proyektif bagi progresifitas PSI ketika berupaya mendulang suara. Dimana kaderisasi adalah kuncinya.

Bukan pula sekedar mendorong publik figur yang memiliki daya dukung rasional di jagad media. Namun masih belum teruji secara baik, kiprah politiknya dalam merealisasikan visi misi partai. Dalam hal ini PSI tentu berpotensi kehilangan kader akar rumputnya.

Mungkin, jika rasionalisasi organisasi dapat dijadikan pijakan utamanya kembali. Tentu akan memberi paradigma baru bagi para kadernya. Muda, progresif, dan responsif terhadap kepentingan umum, bisa memungkinkan untuk jadi modal sosial lainnya.

Maka, meminimalisir kemungkinan blunder politik dapat dicegah demi soliditas partai secara penuh. Khususnya kala PSI hendak berkoalisi dengan partai besar lainnya. Jaminan daya dukung sosial dapat menjadi ruang tawar yang prospektif dan rasional.

Khususnya dalam usaha meraih suara dari para pemilih pemula. Sosok atau figur seorang pemimpin, dapat menjadi ruang reflektif bagi pilihan politik publik. Walau daya dukung secara materil menjadi tolok ukur utama berjalannya roda politik partai yang progresif.

Semoga bermanfaat, salam damai, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun