Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Lahan Plasma yang Kerap Jadi Sengketa

24 September 2023   06:30 Diperbarui: 25 September 2023   07:00 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bermula pada tahun 1970-an, konsep pengembangan lahan plasma menjadi kebijakan pemerintah kala itu. Selain berorientasi untuk membangkitkan daya guna masyarakat lokal. Skema bagi hasil dianggap dapat menaikkan pendapatan ekonomi para pelakunya.

Tak lain adalah masyarakat sekitar perkebunan sawit milik negara ataupun milik swasta. Kebijakan lahan plasma memang berupaya meningkatkan kesejahteraan para petani. Dimana lahan garapnya bersumber dari perusahaan sawit dan dikelola secara mandiri.

Aturan plasma inilah yang menjadikanya sebagai kompensasi atas masifnya usaha sawit di Indonesia. Dengan potensi resistensi sosial terhadap masyarakat lokal di sekitar perkebunan. Khususnya kala perusahaan perkebunan memasuki lahan garap masyarakat. 

Masih banyak masyarakat lokal, adat, ataupun suku, di berbagai daerah yang menggantungkan hidupnya melalui hasil hutan. Apalagi ketika sebuah perusahaan besar hadir ke ruang sosial ekonomi masyarakat. Konflik agraria pun kiranya dapat mengemuka.

Seperti yang terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah dan Kutai, Kalimantan Timur, belakangan ini. Unjuk rasa ribuan petani lokal yang menuntut lahan plasma di Seruyan justru berakhir dengan bentrokan. Sedangkan di Kutai, konflik sampai melibatkan tiga desa lokal.

Pun seperti yang pernah dialami suku Anak Dalam di Tebing Tinggi, Sumatera Selatan. Polemik atas lahan plasma, disebutkan justru merugikan masyarakat adat setempat. Lantaran lahan penghidupan atas tanahnya, telah diambil alih oleh perusahaan sawit.

Kasus yang dialami suku Anak Dalam seperti ungkap Mongabay, adalah satu dari ratusan konflik agraria atas hak lahan plasma. Dimana kewajiban suatu perusahan dalam memberi lahan garap bagi masyarakat ini memang diatur melalui UU 39/2014 Pasal 58.

"Bahwa perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha, wajib memfasilitasi pembangunan perkebunan masyarakat. Paling rendah sebesar 20 persen dari luas area kebun yang diusahakan perusahaan perkebunan".

Ada semacam kewajiban yang memang menjadi hak masyarakat lokal untuk mendapatkan keuntungan dari perkebunan. Walau fakta menyebutkan, masih banyak perusahaan perkebunan yang tidak menjalankan kewajiban tersebut.

Bahkan di antaranya, justru memantik reaksi konflik dari masyarakat yang merasa hak hidupnya terampas oleh perusahaan. Kiranya tidak luput dari peran pemerintah setempat, jika sudah berkaitan dengan persoalan lahan plasma.

Lantaran masyarakat lokal diminta untuk mencari area lahan plasma secara mandiri. Diluar dari area perkebunan yang telah dikuasai perusahaan sepenuhnya. Lain pihak, lahan garap masyarakat tidak lagi ada karena seluruh lahan telah ditanami tanaman perusahaan.

Sama halnya atas apa yang terjadi di Papua, problematika alih fungsi lahan, disebutkan justru membuat masyarakat lokal tersingkir dari tanah adatnya. Sebuah catatan yang pernah dipublikasikan oleh Dandhy Laksono, kala menjalankan Ekspedisi Indonesia Biru.

Hingga saat ini, polemik perihal lahan plasma masih menjadi masalah antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. Walau telah banyak sanksi hukum yang diberikan kepada perusahaan karena tidak menjalankan kewajibannya.

Namun, sanksi hukum tersebut kerap dianggap terlambat. Lantaran sudah tidak ada lagi lahan garap yang dapat dipergunakan oleh masyarakat sebagai kompensasinya. Lagi-lagi, hasilnya adalah jalan damai yang berakhir pada ganti rugi berupa uang.

Sebuah hasil yang merugikan secara sosial, sebagai ruang hidup perekonomian berkelanjutan. Ketiadaan ketahanan ekonomi inilah yang dapat menjadikan ruang konflik sosial semakin tidak terselesaikan. Ketimpangan semakin tegas, dan resistensi semakin kuat.

Selain dari persoalan kuasa atas wewenang perusahaan, kala pertama kali melakukan pembukaan lahan. Minimnya pemahaman masyarakat terkait hak dan kewajiban, serta aturan hukum yang berlaku, biasanya menjadi dasar pertentangan di kemudian hari.

Entah dari pemangku kebijakan, ataupun kala penerapan aturan hukum yang dijalankan. Semua harus mempertimbangkan asas kemanusiaan yang berkeadilan. Bukan justru mengedepankan kepentingan konglomerasi melalui relasi kuasanya.

Rata-rata masyarakat justru menjadi korban kriminalisasi atas hak yang seharusnya didapatkannya. Salam damai, semoga bermanfaat, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun