Isu penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu dan akan datang tentu akan kembali menguat jelang gelaran kampanye terbuka. Khususnya bagi para pegiat HAM yang masih konsisten dalam memperjuangkan haknya. Termasuk dari para korbannya.
Termasuk dalam pusaran kasus HAM pada masa Reformasi, yang dianggap telah menciderai demokratisasi. Walau tak jarang kehadiran mereka diasumsikan sebagai upaya pendeskreditan bacapres tertentu. Dengan kisah kelamnya pada masa-masa tertentu.
Kita tentu tahu latar belakang dari setiap bacapres yang memiliki ruang politiknya masing-masing. Termasuk latar belakang di masa lalu, yang tak luput dari perhatian publik. Namun apakah hanya persoalan HAM pada kurun masa Reformasi? Tentu tidak.
Apalagi jika bentuk pelanggaran HAM turut dikaitkan dengan masa Orde Baru. Akan lebih luas ruang pembahasannya. Lantaran banyak pula dari para pendukung tiap bacapres dianggap pernah terlibat pada persoalan HAM semasa Orde Baru berkuasa.
Jadi, problematikanya akan jadi lebih rumit dalam upaya menuntut pengungkapan pelanggaran HAM secara utuh. Dengan asumsi negatif dan tidak akan dapat terurai dengan baik. Termasuk jika HAM masih belum dianggap sebagai persoalan yang kruisal saat ini.
Entah dalam upaya penegakannya, atau dalam pengusutan suatu kasus yang pernah terjadi. Dalam statusnya yang tidak dapat diungkap dan semakin tenggelam oleh keberpihakan zaman. Tiap bacapres tentu memahami perihal masalah HAM di masa lalu ini.
Ada semacam harapan yang kemudian mengemuka kini. Realitas penegakan hukum yang kerap berbenturan dengan HAM, sepertinya jadi problematika yang tak berkesudahan. Tanpa ada upaya untuk pencegahan yang lebih baik kala menerapkan suatu kebijakan.
Kebijakan yang berkenaan dengan masyarakat, dalam ruang resistensi bagi hadirnya pelanggaran HAM. Narasi besar yang seharusnya dapat diangkat menjadi wacana umum. Demi dukungan sosial dan politis, jelang gelar pemilu 2024 mendatang.
Ruang akademisi pada prinsipnya hanya berputar pada ide dan upaya. Tanpa spesifikasi dalam menjelaskan proses yang akan berlaku di kemudian hari. Ada semacam kecenderungan untuk tidak mengupas persoalan HAM secara luas dengan opsi alternatif lainnya.
Belum lagi rentang waktu panjang dalam menyoal pelanggaran HAM di masa lalu. Kiranya Presiden Jokowi pun pernah berupaya untuk menyelesaikan, namun entah mengapa kemudian tidak menjadi prioritas utama selama pemerintahannya.
Mengurai bentuk pelanggaran HAM tentu harus berangkat dari konsep penegakkan hukum yang diberlakukan. Dengan berbagai standar yang penting untuk diperhatikan. Baik kala berhadapan dengan masyarakat, atau dalam upaya menyelesaikan konflik sosial.
Publik tentu memiliki rekam jejak dalam paradigmanya masing-masing. Bukan sekedar berasumsi tanpa adanya sumber dan bukti yang terkait. Ditambah dengan informasi yang beredar di media, dimana facta sunt potentiora verbis tentu dapat menjadi rujukannya.
Artinya bahwa, upaya penegakkan HAM masih menjadi harapan yang dapat memikat publik kini. Bukan sekedar menjadi jargon yang dalam realisasinya tidak dijadikan prioritas utama nanti. Khususnya terhadap para bacapres sesuai dengan visi misinya kelak.
Agar tidak ada ketimpangan peradilan dan sosial manakala suatu kebijakan hendak diterapkan. Dengan masyarakat yang dikatakan akan bersentuhan secara langsung dalam proses penerapan kebijakan tersebut di lapangan.
Inilah kiranya catatan penting bagi masa depan HAM dalam proses demokratisasi bangsa. Tak luput dengan peristiwa di masa lalu, yang baiknya pun dapat diungkap untuk diselesaikan, seiring dengan orientasi penegakan HAM secara positif.
Semoga dapat memberi pandangan secara luas dalam upaya melihat penegakan HAM di masa datang. Salam damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H