Konflik agraria yang ramai diperbincangkan saat ini, tentu tak luput dari pengaruh kebijakan publik yang diterapkan oleh Pemerintah. Dengan berbagai macam agenda, yang kerap dikategorikan sebagai perampasan hak hidup masyarakat. Dalam pandangan umumnya adalah perihal kepemilikan lahan atau upaya alih fungsi lahan dengan maksud tertentu.
Tergantung pandangannya masing-masing pihak. Atas dasar perbedaan cara pandang tersebutlah, konflik agraria kerap mengemuka. Pun sejak Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pertama kali diteken oleh Pemerintah pada tahun 1960. Yakni melalui Undang-Undang Agraria No 5 Tahun 1960, tentang Aturan Pokok Dasar-Dasar Agraria, pasca peralihan kekuasaan Belanda ke Indonesia.
Tujuannya tak lain adalah kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan serta keadilan bagi masyarakat. Terutama bagi kalangan tani dan rakyat jelata dengan kepemilikan lahan yang terbatas. Walau UU tersebut sudah dianggap tidak berlaku lagi lantaran dianggap tumpang tindih dengan UU lainnya, dasar kesejahteraan kiranya masih dapat menjadi orientasi bersamanya.
Apalagi jika kepemilikan lahan diketahui merupakan area adat yang dikenal sebagai tanah ulayat. Maka kelak akan ada peralihan dasar kepemilikan yang dapat dipergunakan untuk kepentingan bersama (warga). Lain hal dalam upaya kesejahteraan rakyat, bahwa UUPA masih relevan selama kebutuhan terkait hajat hidup orang banyak menjadi prioritasnya.
Walau persinggungan kemudian biasanya terjadi akibat adanya kebijakan yang berkaitan dengan perubahan hak guna lahan. Tak luput perihal hadirnya UU Penanaman Modal, yang tengah menjadi prioritas utama Pemerintah dari tahun ke tahun. Sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, kiranya konflik agraria masih kerap terjadi dimana-mana.
Bukan hanya memantik reaksi sosial, bahkan beberapa diantaranya pernah menjadi upaya pemberontakan di tahun 1964-1965. Terlebih kala kebijakan masa Orde Baru dengan membuka ruang bagi investor asing, yang kala itu memantik terjadinya reaksi sosial. Melalui peristiwa Malari, yang meletus pada tahun 1974.
Berikut pula konflik-konflik agraria yang terjadi selama kurun waktu tertentu, seputar tahun 1975-1990. Baik di Jawa, Sulawesi, dan bahkan Sumatera, yang biasanya terjadi lantaran benturan dengan kebijakan Pemerintah kala itu. Apalagi dengan upaya pembangunan dalam berbagai sektor. Termasuk dengan kepentingan investasi, yang penting bagi perekonomian bangsa.
Pun demikian dengan konflik agraria yang mengemuka pasca Reformasi 1998. Dimana konteksnya lebih luas, dalam upaya penerapan berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan hak guna lahan rakyat. Walau dengan tujuan yang lebih besar, yakni optimalisasi perekonomian bangsa. Namun, persoalan proses konflik atas lahan kerap diwarnai dengan aksi kekerasan.
Pelibatan unsur aparat pemerintah pun kiranya sejak dahulu selalu dalam posisi saling berhadapan. Bukan dalam fungsionalnya demi tercapainya win win solution atau dengan pendekatan yang humanis. Maka wajar, jika kemudian berkembang pandangan bahwa aparat pemerintah hanya sebagai "alat" kekuasaan demi kepentingan pemodal (investor).
Realitas yang kiranya sejak masa Orde Lama pun terjadi atas perihal kepemilikan lahan. Tak luput pelibatan ormas yang dahulu lebih proyektif terhadap kepentingan partai tertentu. Seperti BTI yang berafiliasi dengan PKI. Pun di masa Orde Baru, dengan pola sama namun lebih reaktif dalam penanganannya. Dimana kini hal serupa masih saja terjadi, dengan beragam argumentasinya.
Dapatlah dipahami bahwa, konflik agraria yang identik dengan penggusuran ruang hidup masyarakat sering diwarnai konflik sosial. Hal yang kiranya luput adalah pendekatan persuasif yang dirasa perlu waktu dalam penyelesaiannya. Seperti yang terjadi di Pulau Rempang saat ini, atau bahkan di berbagai daerah lainnya.
Transparansi kebijakan adalah klausul yang dapat diambil sebagai modal dukungan sosial. Dengan pelibatan berbagai unsur lembaga masyarakat, yang menjadi partner dalam penyelesaian konflik. Bukan justru mengurainya dalam berbagai diksi yang saling memberi pembenaran sendiri sesuai versi dan kepentingannya masing-masing.
Tentunya dengan tujuan hak hidup atas tanah yang memberi kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 Ayat 3, yang menegaskan perihal kekayaan alam diperuntukkan demi kemakmuran rakyat Indonesia. Demikianlah sejarah konflik agraria dari masa ke masa dapat disajikan.
Salam damai, semoga bermanfaat, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H