Maka wajar, jika kemudian gesekan yang terjadi, kerap melibatkan unsur tentara dalam kepentingan politik atau kelompok. Seperti halnya upaya pembentukan angkatan ke 5, yang jadi tujuan PKI dalam meraih dukungan elemen bersenjata.
Atau dalam afiliasi unsur militer terhadap dukungan politiknya kepada partai tertentu. Inilah muasal terjadinya konflik berdarah, yang memuncak pada September 1965 di kemudian hari. Pun terhadap kelompok nasionalis dan agama, yang terlibat dalam kisruh politik kala itu.
Sama halnya pada peristiwa-peristiwa jelang pemilu di masa-masa selanjutnya. Kepentingan partai kiranya jadi orientasi yang memberi sekat bagi keterlibatan masyarakat secara partisipan. Jadi, hanya terhadap unsur partai yang memiliki kendali atas jalan politik.
Hal inilah yang kemudian membuat ribuan pendukung PKI ditangkapi usai peristiwa September 1965. Walaupun sebatas simpatisan dan anggota tidak tetap partai (PKI). Bahkan banyak diantaranya tidak mengetahui apa yang terjadi di Jakarta dan Jogjakarta.
Persoalan kepartaian yang memang lebih mengarah pada kepentingan pimpinan partai, sudah menjadi realitas politik sedari dulu. Tak luput dalam kebijakan partai melalui berbagai keputusan yang dianggap perlu dan mampu mendulang dukungan massa.
Dalam konteks demokratisasi, tentu hal ini tidaklah memberi ruang edukasi bagi para partisan politik. Secara umum, realisasi daya dukung politik patutnya turut melibatkan para partisan yang memiliki relasi sosial. Tanpa harus mengorbankan para simpatisan demi kepentingan politik yang pragmatistik.
Semoga ada hikmah yang dapat diambil dari kisah politik bangsa di masa lalu. Tentunya demi ketercapaian demokrasi yang lebih baik di kemudian hari. Salam damai, semoga bermanfaat dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H