Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kilas Resistensi Politik dan Konflik Sosial Kala Pemilu

28 Agustus 2023   05:45 Diperbarui: 28 Agustus 2023   06:25 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resistensi politik, dewasa ini memang berjalan seiring konstelasi politik jelang pemilu tahun depan. Tak luput dari peran sosial para konstituen yang memiliki cara pandangnya masing-masing. Selain dari para pendukung yang memiliki fanatisme berlebihan. Tanpa memberi ruang terbuka bagi demokrasi, untuk dapat berjalan sesuai rule dalam menentukan pilihan.

Bukan sekedar memberi daya dukung secara politis, melainkan pula dukungan sosial melalui berbagai pendekatan komunikatifnya. Baik secara positif ataupun negatif, dengan orientasi yang pragmatis dalam meraih dukungan publik. Dimana justru mengemuka berbagai cara provokatif yang dilakukan tanpa adanya unsur edukasi politik.

Inilah catatan "kelam" bagi demokratisasi yang marak kala gelaran pemilu tiba. Sebuah persepsi yang menyiratkan proses demoralisasi demokrasi dengan sudut pandang negatif. Dengan kerugian yang biasanya menimpa para simpatisan dan kader politik partai. Pun terhadap ruang sosial, yang biasanya terkena dampak dari suatu konflik politik, seperti yang dikemukakan oleh Soerdjono Seokanto.

Sejarah Indonesia pernah merekam beberapa peristiwa kelam yang terjadi akibat fanatisme berlebihan dalam ruang politik. Hingga menimbulkan konflik sosial, yang merugikan proses demokratisasi jelang pemilu.

Pertama, adalah tragedi kerusuhan sosial di Banjarmasin, pada 23 Mei 1997 silam. Alih-alih melakukan kampanye, massa sebuah partai politik justru memantik perseteruan dengan umat Islam yang tengan melakukan ibadah sholat Jum'at. Disebutkan pula, massa yang tersulut konflik merupakan basis politik partai lawan, dengan kondisi berseteru atas ekskalasi jelang pemilu legislatif tersebut.

Tragedi Jum'at Kelabu pun meletus di tengah kota Banjarmasin usai sholat Jum'at. Ribuan massa dari kedua pihak yang bersinggungan pun melakukan aksi anarkis disertai kekerasan fisik. Banyak toko-toko dan pusat perbelanjaan publik menjadi target amuk massa. Pun dengan aksi penjarahan dan perampasan aset pribadi (warga) dengan dalih beda pilihan politik.

Kerugian yang ditaksir sebagai akibat dari peristiwa ini adalah hancurnya beberapa rumah ibadah. Gedung, kantor, hotel, dan pusat perbelanjaan banyak yang hancur terbakar atau dirusak. Beserta rumah dan kendaraan yang juga tak luput dari aksi perusakan. Dengan jumlah korban mencapai 300-320 jiwa (Komnas HAM).

Kedua, adalah tragedi pemilu 1999 di berbagai kota Indonesia. Diantaranya adalah Bali, sebagai wilayah yang dikenal kuat dalam patron politiknya. Terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid pada pemilu tahun 199 sebagai Presiden, menimbulkan gejolak sosial di Bali. Aksi saling serang antar pendukung dan massa yang kontra, mengakibatkan berbagai fasilitas umum dirusak dan dihancurkan.

Kemudian adalah peristiwa Dongos, di Jepara pada 30 April 1999. Sebuah peristiwa yang bermula dari perseteruan politik antar kader NU dengan patron politik berbeda. Dikabarkan empat orang meninggal dunia dalam aksi kekerasan yang melibatkan dua kelompok simpatisan partai politik tertentu. Bersama 3 rumah yang hancur dibakar, dengan 21 kendaraan dirusak massa.

Selanjutnya adalah kerusuhan di Jakarta pada 21 Mei 1999. Kerusuhan sosial dengan dalih politik menjadi kisah yang marak terjadi. Sasarannya tak lain adalah masyarakat, yang diketahui banyak menjadi korban. Selain itu beberapa kendaraan pun diketahui telah dirusak dan dibakar. Bersama beberapa pusat perbelanjaan yang dijarah massa.

Ketiga, adalah kerusuhan pemilu 2014 dan 2019. Dijelaskan bahwa pada prosesi pemilu 2014 pernah terjadi kerusuhan antar dua kelompok pendukung partai tertentu di Buleleng, Bali. Bersamaan dengan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Dengan enam orang meninggal dunia pada peristiwa tersebut. Berikut kerugian materi yang belum terkalkulasi secara faktual.

Sedangkan pada pemilu 2019, terjadi aksi besar-besaran di Jakarta, sebagai protes hasil perhitungan suara pemilu. Hingga membuat beberapa daerah di Jakarta siaga satu dalam mengantisipasi kerusuhan. Dimana bentrokan yang terjadi antar demonstran dengan aparat hukum pecah pada 21 Mei di beberapa lokasi.

...

Kiranya demikian, seputar peristiwa jelang pemilu yang memantik konflik sosial. Tak luput dari kepentingan politik dibelakangnya. Dengan tujuan sebagai ruang reflektif bagi proses demokratisasi yang lebih baik. Khususnya jelang pemilu 2024 mendatang. Salam damai, semoga bermanfaat, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun