Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Dago Elos dalam Perspektif Resistensi Sosial

21 Agustus 2023   05:45 Diperbarui: 23 Agustus 2023   21:00 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terjadi di daerah Dago, Kelurahan Coblong, Bandung, Jawab Barat beberapa waktu lalu memang berawal dari konflik kepemilikan lahan. Proses hukum yang telah dilewati oleh kedua belah pihak yang bersinggungan akhirnya menemui jalan buntu. Lantaran pada gugatan awal putusan dimenangkan oleh warga Dago. Sedangkan kala peninjauan kembali, pihak penggugatlah menang.

Inilah asal muasal bentrokan yang terjadi antara warga dengan aparat hukum hingga membuat Jl. Juanda mencekam, lantaran aksi pemblokiran jalan dilakukan oleh warga.

Beberapa pihak menilai, sikap seteru warga berawal dari penolakan aparat hukum untuk merespon dugaan kasus penipuan sengketa lahan disana.

Di mana akhirnya, rasa kecewa warga berubah menjadi aksi protes terbuka. Dikarenakan lahan sebesar 6,3 hektare telah dimenangkan oleh PT Dago Inti Graha, sebagai kuasa hukum keluarga Muller yang memiliki hak atas tanah tersebut.

Atas hasil putusan tersebut, warga pun merasa dirugikan hingga resistensi tak dapat dihindari karena faktor represif yang disebutkan sebagai sikap hukum.

Keluarga Muller sendiri merupakan seorang Belanda yang datang ke Indonesia sejak tahun 1823. Gregorius Hendrikus Muller adalah nama lengkapnya, seorang tentara KNIL Belanda, yang bertugas di Hindia Belanda.

Sekitar tahun 1842, keluarga Muller memiliki hak guna lahan di daerah Priangan, Jawa Barat. Hingga wilayah Dago Elos, yang dimiliki oleh George Hendrik Muller, anaknya.

George Hendrik Muller pun terdata sebagai tentara Belanda, selama masa pendudukan tahun 1942. Kala Jepang datang dan kecamuk perang kemerdekaan, keluarga Muller kembali ke Belanda. Pun lahan yang dimiliki telah beberapa kali berganti kepemilikan. Baik kala Jepang berkuasa, ataupun masa kemerdekaan Indonesia diraih. Maka wajar, jika daerahnya kemudian ditinggali oleh warga.

Padahal, dikemukakan sebelumnya, Ridwan Kamil selaku Gubernur Jawa Barat telah berkoordinasi dengan Polrestabes Bandung agar bertindak secara humanis. Khususnya kala berkomunikasi dengan warga Dago Elos agar tidak sampai terjadi bentrokan, yang justru merugikan warga secara materil dan immateril.

Pendekatan resistensi tentu bukanlah hal yang menarik dalam ruang demokrasi. Bukan sekedar melakukan protes terhadap kebijakan yang dianggap merugikan, melainkan dengan mekanisme komunikasi yang patutnya menjadi daya dukung secara sosial. Walau, kerap dinarasikan sebagai sikap represif, karena munculnya provokasi yang kerap mewarnai di setiap lokasi aksi.

Resistensi sosial yang jadi dasar analisis pun bersumber melalui pendekatan komunikasi persuasif. Entah dikarenakan unsur kealpaan atau pola penyelesaian non-prosedural, kiranya bentrokan pun terjadi. Suatu hal yang tentu merugikan daya dukung sosial terhadap aparat hukum serta proses penegakkanya.

Seperti yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirjo, dalam konflik sosial petani Banten. Kasus sengketa tanah yang menjadi latar belakang munculnya resistensi sosial, rata-rata selalu berakhir pada konflik horizontal. Tinjauan peristiwa Pemberontakan Petani Banten 1888, kiranya dapat menjadi telaah bagi aparatur penegak hukum dalam proses peredaman konflik.

Bukan justru memberlakukan tindakan keras yang dapat memancing gap identitas antara warga dengan aparatur negara, apalagi jika sampai melanggar hak asasi manusia (HAM).

ICW bahkan menyebut sepanjang tahun 2022, telah terjadi 23 kali pelanggaran dalam penanganan aksi massa oleh aparat penegak hukum. Tren pelanggaran pun disebutkan naik sebesar 35,3 persen dari tahun 2021.

Dalam skema resistensi, siapa lagi kalau bukan warga (masyarakat) yang menjadi korbannya. Sejarah sosial kiranya telah memberi abstraksi, bagaimana reaksi atas resistensi sosial dapat berakhir dengan konflik terbuka. Khususnya dalam mengurai konflik di Dago Elos. Setelah berbagai narasi mengemuka lantaran dianggap sebagai aksi penjajahan gaya baru di masa kemerdekaan.

Semoga ruang dialog secara humanis dapat menjadi jembatan dalam meredam resistensi yang tampak. Serta dapat solusi terbaik guna memberi keadilan bagi 331 kepala keluarga, atau ribuan warga Dago Elos yang terancam kehilangan tempat tinggalnya kini.

Salam damai, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun