Resistensi sosial yang jadi dasar analisis pun bersumber melalui pendekatan komunikasi persuasif. Entah dikarenakan unsur kealpaan atau pola penyelesaian non-prosedural, kiranya bentrokan pun terjadi. Suatu hal yang tentu merugikan daya dukung sosial terhadap aparat hukum serta proses penegakkanya.
Seperti yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirjo, dalam konflik sosial petani Banten. Kasus sengketa tanah yang menjadi latar belakang munculnya resistensi sosial, rata-rata selalu berakhir pada konflik horizontal. Tinjauan peristiwa Pemberontakan Petani Banten 1888, kiranya dapat menjadi telaah bagi aparatur penegak hukum dalam proses peredaman konflik.
Bukan justru memberlakukan tindakan keras yang dapat memancing gap identitas antara warga dengan aparatur negara, apalagi jika sampai melanggar hak asasi manusia (HAM).
ICW bahkan menyebut sepanjang tahun 2022, telah terjadi 23 kali pelanggaran dalam penanganan aksi massa oleh aparat penegak hukum. Tren pelanggaran pun disebutkan naik sebesar 35,3 persen dari tahun 2021.
Dalam skema resistensi, siapa lagi kalau bukan warga (masyarakat) yang menjadi korbannya. Sejarah sosial kiranya telah memberi abstraksi, bagaimana reaksi atas resistensi sosial dapat berakhir dengan konflik terbuka. Khususnya dalam mengurai konflik di Dago Elos. Setelah berbagai narasi mengemuka lantaran dianggap sebagai aksi penjajahan gaya baru di masa kemerdekaan.
Semoga ruang dialog secara humanis dapat menjadi jembatan dalam meredam resistensi yang tampak. Serta dapat solusi terbaik guna memberi keadilan bagi 331 kepala keluarga, atau ribuan warga Dago Elos yang terancam kehilangan tempat tinggalnya kini.
Salam damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H