Apa yang terjadi di daerah Dago, Kelurahan Coblong, Bandung, Jawab Barat beberapa waktu lalu memang berawal dari konflik kepemilikan lahan. Proses hukum yang telah dilewati oleh kedua belah pihak yang bersinggungan akhirnya menemui jalan buntu. Lantaran pada gugatan awal putusan dimenangkan oleh warga Dago. Sedangkan kala peninjauan kembali, pihak penggugatlah menang.
Inilah asal muasal bentrokan yang terjadi antara warga dengan aparat hukum hingga membuat Jl. Juanda mencekam, lantaran aksi pemblokiran jalan dilakukan oleh warga.
Beberapa pihak menilai, sikap seteru warga berawal dari penolakan aparat hukum untuk merespon dugaan kasus penipuan sengketa lahan disana.
Di mana akhirnya, rasa kecewa warga berubah menjadi aksi protes terbuka. Dikarenakan lahan sebesar 6,3 hektare telah dimenangkan oleh PT Dago Inti Graha, sebagai kuasa hukum keluarga Muller yang memiliki hak atas tanah tersebut.
Atas hasil putusan tersebut, warga pun merasa dirugikan hingga resistensi tak dapat dihindari karena faktor represif yang disebutkan sebagai sikap hukum.
Keluarga Muller sendiri merupakan seorang Belanda yang datang ke Indonesia sejak tahun 1823. Gregorius Hendrikus Muller adalah nama lengkapnya, seorang tentara KNIL Belanda, yang bertugas di Hindia Belanda.
Sekitar tahun 1842, keluarga Muller memiliki hak guna lahan di daerah Priangan, Jawa Barat. Hingga wilayah Dago Elos, yang dimiliki oleh George Hendrik Muller, anaknya.
George Hendrik Muller pun terdata sebagai tentara Belanda, selama masa pendudukan tahun 1942. Kala Jepang datang dan kecamuk perang kemerdekaan, keluarga Muller kembali ke Belanda. Pun lahan yang dimiliki telah beberapa kali berganti kepemilikan. Baik kala Jepang berkuasa, ataupun masa kemerdekaan Indonesia diraih. Maka wajar, jika daerahnya kemudian ditinggali oleh warga.
Padahal, dikemukakan sebelumnya, Ridwan Kamil selaku Gubernur Jawa Barat telah berkoordinasi dengan Polrestabes Bandung agar bertindak secara humanis. Khususnya kala berkomunikasi dengan warga Dago Elos agar tidak sampai terjadi bentrokan, yang justru merugikan warga secara materil dan immateril.
Pendekatan resistensi tentu bukanlah hal yang menarik dalam ruang demokrasi. Bukan sekedar melakukan protes terhadap kebijakan yang dianggap merugikan, melainkan dengan mekanisme komunikasi yang patutnya menjadi daya dukung secara sosial. Walau, kerap dinarasikan sebagai sikap represif, karena munculnya provokasi yang kerap mewarnai di setiap lokasi aksi.