Tidak adanya edukator politik dalam ruang publik sebagai bagian dari check and balance, dapatlah menjadi hal yang merugikan. Misal, akan hadirnya para kontestan yang memang memiliki latar belakang buruk kala menjabat sebagai wakil rakyat.
Inilah yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan paling penting dalam proses berjalannya pemerintahan kelak. Proyeksi jangka panjang yang terabstraksi melalui wakil rakyat, sudah tentu menjadi representasi maju mundurnya proses demokratisasi.
Walau perihal ruang akademik dianggap sebagai alibinya, tentu akan ada ruang terbuka bagi kemunculan sikap apolitik dari para konstituen. Lantaran tidak adanya ruang edukasi yang justru dibutuhkan oleh rakyat.
Khususnya bagi kalangan akademisi, yang kerap terlibat dalam politik praktis secara kelembagaan atau kelompok. Sintesanya tak lain adalah perspektif demokratisasi dalam ruang akademis juga patut disosialisasikan sekongkrit mungkin pada ruang publik.
Aspek inilah yang terkadang alpa dalam realisasinya. Maka ruang kritik terhadap eksistensi mahasiswa pun patut dipertanyakan. Apalagi bagi para aktivis kampus, yang notabene memiliki relasi kuasa atas kepentingan politik di dalam kampus.
Bukan justru terjebak pada orientasi proyek semata, tanpa ada bentuk edukasi positif yang nyata bagi masyarakat.
Semoga mencerahkan, salam damai dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H