Wacana demoralisasi demokrasi kiranya telah sampai pada realitas politik saat ini. Tak lain karena banyaknya kebijakan yang justru tampil secara kontroversial. Entah dalam agenda kampanye, aturan pemilu, atau komunikasi politik dalam ruang publik.
Saling sulut perhatian antar kelompok pun turut tampil ke permukaan. Baik dalam latar belakang secara simbolik, ataupun politisnya. Semua aspek sosial dan kebijakan publik, seakan memberi akses yang dapat menjadi ruang kritik secara terbuka.
Khususnya perihal keputusan Mahkamah Konstitusi terkait ruang kampanye di lingkungan pendidikan. Publik seketika berwacana bahwa ruang demokratisasi telah diambil melalui mekanisme politis. Dimana hal tersebut justru dapat mencederai makna demokrasi.
Ruang pendidikan (kampus) yang seharusnya dapat menjadi area netral, tak lagi sanggup membendung hasrat politik yang penuh kepentingan. Tak lain dengan beragam pola atau mekanisme yang membuat polarisasi independensi mahasiswa jadi bias idealisme.
Artinya bahwa, mahasiswa sebagai aktor perubahan atau sosial kontrol tak lagi mampu memainkan peran sosial politiknya. Lantaran akan sibuk mengurusi kepentingan politik di lingkungan kampusnya saja. Inilah cikal bakal terjadinya kemunduran edukasi politik.
Tak lain yang tertuju pada masyarakat umum. Dalam keterlibatannya secara demokrasi melalui berbagai ruang penyadaran politik. Sebuah tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh para mahasiswa. Apalagi jelang gelaran kampanye dan pemilu kemudian hari.
Lain hal kala banyak tawaran yang masuk dalam ruang kampus bagi para kontestan pemilu. Justru penampilan "cawe-cawe" politik yang akan mengemuka dalam ruang dialog, walau dibalut secara akademis. Pandangan kritis yang berangkat dari realitas gerakan mahasiswa saat ini.
Apalagi jika patron gerakan melalui eksponen '98 sudah terlihat pola gerakan politiknya. Ada semacam keinginan yang tampak, bagi sebagian mahasiswa untuk dapat mengiringi secara terbuka politik praktis semacam itu.
Dengan fakta, banyak diantara mantan aktivis yang kini terlibat dalam pencalonan di lembaga legislatif. Maka wajar, jika kemudian pandangan tendensius justru muncul kala banyak eksponen gerakan mahasiswa "menantang" para kontestan pemilu, untuk mampir ke kampusnya.
Selain karena prinsip demokratisasi adalah menjaga ruang edukasi politik bagi rakyat agar berjalan dengan positif. Maka dengan hadirnya perspektif terbalik ini, penyadaran politik bagi rakyat kiranya akan semakin bias dari tujuannya.