Kaum urban dalam wacana nasionalisme, tak luput dari peran sertanya dalam lingkup sosial berbangsa. Walau dalam lingkungan yang berorientasi pada realitas multi etnis dan budaya. Namun, kehadirannya dianggap sebagai penggerak roda perekonomian bangsa.
Inilah mengapa, kaum urban yang identik dengan kelompok berstatus kelas pekerja lebih dominan dalam ruang sosialnya. Tak lain karena mayoritas banyak diantaranya justru hadir dari kelompok sosial kecil di pedesaan. Dimana secara eksplisit diterjemahkan dalam konsep urbanisasi.
Kelompok sosial yang berlatar budaya dan adat berbeda tentu memiliki resistensi tinggi atas beragam potensi konflik sosial. Banyak diantaranya berlatar ekonomi, tanpa adanya suatu relasi interpersonal. Selain dari kehadiran ruang guyub antar kelompoknya.
Bukan sekedar dalam ikatan etnik yang cenderung sukuistik. Melalui konsep relasi yang mengedepankan kepentingan kelompok dari lainnya. Sisi etnosentrik pun biasanya turut mengemuka jika sudah berkaitan dengan relasi sukuistik.
Satu sisi, nasionalisme selalu diidentifikasikan melalui berbagai argumen sikap. Baik melalui perilaku dan perbuatan yang terwujud dari rasa cinta terhadap tanah airnya, seperti apa yang dikemukakan oleh Hans Kohn.
Kesadaran inilah yang secara sadar selalu hadir kala peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Kesadaran akan persatuan dan kesatuan ditengah segala perbedaan dan konflik. Baik dalam locus sosial ataupun politik, melalui beragam polanya masing-masing.
Termasuk bagi kaum urban, yang memang mendominasi sistem sosial masyarakat kota. Dalam hal ini, wujud rasa cinta tanah air kerap diapresiasikan melalui berbagai lomba 17-an. Suatu upaya dalam mengurai perbedaan pada realitas kemasyarakatan.
Ada semacam daya tarik, yang mampu menyatukan perbedaan sosial tersebut. Tak luput dalam status ataupun kelompok sosial yang terdiri dari berbagai macam klasifikasinya. Semua dapat berbaur menjadi satu relasi sosial yang positif, walau bersifat seremonial.
Namun, hal ini dapat dikatakan tetap menjadi daya pacu bagi eksistensi nasionalisme saat ini. Ditengah ancaman post-nasionalisme dalam konteks pengejawantahannya kini. Hal inilah yang dapat dianggap sebagai modal sosial ditengah disrupsi kebangsaan.
Khususnya bagi kaum urban, seiring laju society 5.0. Tentu dengan berbagai harapan yang dapat ditularkan bagi generasi nanti. Baik dalam wujud sikap dan perilaku sosial sesuai makna dari nasionalisme itu sendiri. Tidak melulu terjebak dalam lingkaran anti-sosial.