Sekedar berkisah bagaimana anak-anak Dusun Sinapeul di Kabupaten Karawang memaknai nasionalisme. Namanya Ikki, seorang anak SMK Iptek di Kab. Karawang, yang biasa menyambut kedatangan saya ketika berkunjung ke dusunnya. Diantara mereka ada Cahya, Putri, Mail, Sarip, Parid, Jamil, dan anak lainnya, yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Nyaris tak pernah ada lomba 17-an di dusun ini, lantaran posisinya memang jauh dari akses jalan raya. Jalan penghubung antar desa, harus dilalui melewati jalan bebatuan terjal sebagai akses utamanya. Bahkan, beberapa tahun silam, ada sebuah dusun yang terletak jauh di pedalaman hutan pegunungan Sanggabuana. Namanya dusun Cicau, yang kini telah hilang ditinggal penghuninya.
Ada kisah sejarah yang memang hadir pada dua dusun tersebut. Tak lain pada masa bersiap, kisaran tahun 1946 hingga 1948. Dimana area Karawang Selatan dijadikan lokasi pertempuran gerilya pihak Republik melawan Belanda. Termasuk di area dua dusun tersebut, dengan melibatkan unsur rakyat bersama para pejuang.
Walau diantara anak-anak tersebut adalah pendatang. Kiranya kisah sejarah yang terjadi di daerahnya, tak pernah luput dari tutur para sepuh disana. Diantaranya adalah Abah Slamet dan Ki Dalang, yang selalu antusias mengkisahkan sejarah masa lalu kepada para pendatang. Sejak perang lawan Belanda, hingga aksi pagar betis lawan gerombolan pemberontak DI/TII.
Satu diantara para sepuh, ada Abah Koman yang memang mendiami sebuah gubuk di sekitar Gunung Rungking, Cicau. Beliau kiranya adalah pelaku sejarah, yang beberapa waktu lalu telah tutup usia. Selain bertani, warga di dusun ini menggantungkan hidupnya dengan kerja serabutan, dan kerap mengandalkan buruan hasil hutan.
Beberapa waktu lalu, kala saya berkunjung kesana. Ikki dengan antusias mengajak saya berkunjung ke Monumen Gempol Ngadeupa. Lokasinya bersebelahan dengan Gunung Rungking, yakni di sekitar kaki Gunung Go'ong. Bersama anak-anak lainnya, kirab gerilya kita lakukan dengan menyusuri pematang dan perbukitan. Walau awalnya kita mencoba tracking menggunakan trail.
Namun, karena keterbatasan yang ada, maka tidak semua anak-anak dapat diajak napak tilas bersama. Disini dapat ditemui, bahwa sebenarnya nasionalisme tidak hanya terbatas pada hal yang simbolis belaka. Melalui upacara, atau bahkan lomba yang telah jadi tradisi. Melainkan, adanya rasa bangga terhadap kisah sejarah masa lalu di daerahnya.
Peristiwa heroik yang mengakibatkan gugurnya 40 pejuang Republik, memang terjadi akibat raid militer Belanda terhadap kantong-kantong gerilya. Khususnya di Karawang, usai Kapten Lukas ditetapkan sebagai buronan no. 1 oleh Belanda. Selain dari kisah pilu di Rawagede, dengan korban 431 penduduk sipil.
Karawang pride, mungkin telah berkembang menjadi rasa bangga pada anak-anak di usia mereka. Bagi mereka yang lahir dan tumbuh atas pengorbanan para pahlawan bangsanya di masa lalu. Walau tanpa ada upacara bendera dan lomba kala 17 Agustus tiba. Namun, jangan tanya jika berkaitan dengan tekad dan semangat juang mereka.
Karena, jika hendak berangkat sekolah saja, anak-anak disana harus melewati jalan terjal dan berjalan kaki. Tapi, jika ditanya soal cita-cita, jawabannya pun bervariasi sesuai cara berpikir mereka mengenai harapan. Sekedar mendapat akses yang baik untuk dapat sekolah layak, kiranya sudah cukup. Tak lebih dari rasa bangga mereka terhadap bangsanya yang besar.
Kisah perjuangan yang ada, adalah pembakar semangat bagi mereka. dengan target utama adalah cita-cita untuk memberi rasa bangga bagi keluarga. Walaupun rata-rata anak-anak disana bekerja sebagai buruh pabrik. Salam damai, semoga bermanfaat, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H