Persoalan hak kesehatan bagi warga desa, kiranya masih menjadi prioritas utama yang selalu diupayakan oleh berbagai pihak. Tak terkecuali pemerintah melalui tenaga kesehatan, yang konsisten menembus sekat keterbatasan akses. Perihal keterbatasan akses dan fasilitas yang memadai memang masih menjadi kendala dalam tiap pelayanan kesehatan bagi penduduk desa.
Tak luput dari perhatian publik terkait persoalan stunting yang memang masih banyak terjadi. Khususnya dalam upaya pemenuhan ekonomi warga desa, untuk dapat mandiri dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sama halnya dengan kemandirian pangan, yang dapat diupayakan secara baik, jika warga dalam kondisi sehat.
Inilah yang jadi catatan utama, bagaimana pentingnya kesehatan bagi warga desa dapat terus menjadi prioritas pemerintah. Baik memalui kebijakannya, ataupun melalui skema kerjasama dengan para volunteer (tenaga kesehatan). Upaya kemandirian tentu tidak akan dapat terlaksana dengan baik, jika tidak ada daya dukung dari segenap instansi terkait.
Semisal dengan balai kesehatan warga desa, ataupun dengan tenaga dukungan lainnya. Tentunya dalam mengantisipasi persoalan di lapangan, yang kerap menjadi kendala dalam menjangkau sebuah desa. Karena dalam jiwa yang sehat, tentu ada tubuh yang kuat. Kiranya demikian yang jadi harapan dari para penduduk desa yang minim akses.
Dapat kita kaji, bagaimana potensialnya kawasan desa dalam aspek sumber alamnya. Sumber alam yang dapat dikembangkan demi keuntungan warganya sendiri. Guna pemenuhan kebutuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat melalui ruang kerja alami. Entah dalam aspek pertanian atau perkebunan, yang tentunya ramah lingkungan, tanpa ada unsur eksploitasi alam.
Selain ketahanan kesehatan, tentu pula diimbangi dengan ketahanan pangan. Dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, jika kita hendak berorientasi pada konsep kemandirian desa. Daripada komponen tersebutlah, maka akan tumbuh kemandirian ekonomi, yang mampu memberi daya saing desa dengan berbagai kebutuhannya.
Berbagai bentuk realisasinya mungkin melalui gerakan volunteer kesehatan, yang notabene kerap dilakukan oleh instansi pendidikan (mahasiswa) atau profesional (nakes). Baik melalui program bina desa, ataupun bakti sosial, yang digerakkan bersama berbagai komponen desa. Tak luput dengan pemerintah setempat, sebagai daya dukung potensial untuk memberi aksesbilitas secara terbuka.
Walau tidak menutup kemungkinan, akan ada penolakan yang sifatnya tradisi. Dalam arti ritus budaya desa (masyarakat adat) dapat terganggu atas hadirnya para volunteer tersebut. Benturan kepentingan inilah yang kiranya dapat ditengahi oleh perangkat desa setempat. Dengan tidak mengurangi daya dan upaya yang dilakukan demi kemandirian kesehatan desa.
Tentu bukan hal yang mudah, jika kebijakan pemerintah setempat tidak memberi ruang bagi ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan. Inilah yang menjadi soal, seperti yang tampak di Desa Panyaweuan, Serang, Banten. Satu-satunya puskesmas pembantu yang ada tampak sudah tidak aktif, dan ditutupi oleh belukar.