Secara naratif dapat dijelaskan bahwa persoalan RUU Kesehatan yang telah ditetapkan menjadi UU Kesehatan, masih memuat berbagai aksi kontra kebijakan hingga kini. Khususnya para tenaga kesehatan (nakes) yang tergabung dalam organisasi IDI, PPNI, PDGI, IAI, dan IBI, yang menyatakan ketidaksetujuannya. Hingga membuat terjadinya demo nakes selama beberapa kali.
Bahkan dikatakan akan melakukan aksi mogok kerja, jika memang tidak ada lagi ruang dialog secara terbuka. Namun, ada pula organisasi nakes lain yang memberi dukungan terhadap keputusan tersebut, seperti Dewan Kesehatan Rakyat, Persatuan Honorer Nakes Indonesia, hingga Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia.
Hal inilah yang kemudian menjadi catatan pentingnya, lantaran para nakes terlihat "terbelah dua", ada yang pro maupun kontra. Dimana ruang keberpihakan masyarakat tidak dapat direduksi menjadi satu bagian penting dalam penentu proses penerapan kebijakan. Seolah hal ini hanyalah persoalan dari para nakes dengan kebijakan pemerintah, yang dirasa kurang populis.
Namun, sebenarnya ada potensi keresahan sosial dibalik penetapan Undang-Undang Kesehatan ini. Khususnya dalam beberapa pasal yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat dalam pemenuhan kesehatan secara baik. Yakni dengan dihapusnya perihal mandatory spending yang dianggap dapat merugikan masyarakat.
Mandatory Spending ini merupakan anggaran negara yang keluarkan untuk kebijakan tertentu (kesehatan). Dimana dalam aturan (UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan) sebelumnya memiliki besaran sebanyak 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD. Jumlah inilah yang kemudian dipakai dalam upaya optimalisasi pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Sedangkan dalam UU Kesehatan 2023, besaran biaya tersebut dihilangkan. Kiranya hal ini dapat memberi ruang persepsi baru, bagi optimalisasi kesehatan yang tidak masuk dalam skala prioritas di masa datang. Apalagi jika pemenuhan biaya pelaksanaan kesehatan diwujudkan dalam bentuk investasi dan pinjaman asing. Inilah kiranya yang dapat memberi dampak langsung terhadap masyarakat.
Lantaran biaya kesehatan tidak akan sepenuhnya tercover melalui APBN ataupun APBD pemerintah. Sedangkan mayoritas pengguna layanan kesehatan dapat dikatakan selalu terikat dalam kebijakan daerahnya masing-masing. Misal, perihal kasus rabies, jika tidak ada alokasi dana bagi penanganan dari pemerintah, tentu dapat berkembang menjadi persoalan sosial di masyarakat.
Selain itu, jika dikatakan pada suatu daerah rawan malaria Sedangkan dalam APBN serta APBD dikatakan tidak memprioritaskan penanganan masalah tersebut, sudah dapat dipastikan akan malaria akan menjadi masalah sosial. Apalagi jika berkenaan dengan masalah stunting, yang marak di beberapa daerah minim layanan kesehatan. Optimalisasi tentu terkendala dalam hal pembiayaan.
Inilah kiranya persepsi yang dapat mengemuka menjadi persoalan sosial. Berangkat dari keresahan yang tidak terakomodir dalam rumusan kebijakan secara proporsional. Dimana karena ketiadaan Mandatory Spending, partai Demokrat dan PKS menyatakan sikap penolakkannya terhadap pengesahan Undang-Undang Kesehatan ini.
Hal tersebut belum termasuk pasal-pasal kontroversial lainnya, yang dapat memantik keresahan sosial. Seperti perihal tembakau yang dikategorikan sebagai zat adiktif. Pada aspek ini kiranya yang menjadi resah adalah buruh pabrik tembakau olahan (rokok), beserta petani tembakau. Maka dapat dibayangkan, betapa besar jumlah masyarakat yang akan kehilangan mata pencahariannya.