Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarah Perkembangan DI/TII, NII, hingga Al Zaytun

9 Juli 2023   06:00 Diperbarui: 9 Juli 2023   06:46 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panji Gumilang, Pimpinan Ponpes Al Zaytun (sumber: Kompas.id/Dendi Ramdhani)

Historiografi Indonesia mungkin tengah berkecamuk lantaran Al Zaytun tidak dianggap sebagai sebuah kegiatan teror. Hal ini berawal dari pencabutan Undang-Undang No. 11 Tahun 1963, yang berkaitan dengan tindak pidana subversifme. Tak heran jika selama ini apa yang dilakukan oleh Panji Gumilang belum dapat disentuh oleh hukum.

BNPT pun seakan tidak dapat menjerat Panji Gumilang selaku pimpinan Al Zaytun dengan pidana terorisme, seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme No. 5 Tahun 2018. Hal ini terjadi karena gerakan Al Zaytun tidak termasuk sebagai salah satu organisasi radikal yang dianggap membahayakan publik dalam pendekatan terorisme.

Padahal gerakan DI/TII hingga deklarasi Negara Islam Indonesia/NII menempuh jalan radikal sepanjang kisah sejarah yang tercatat. Baik melalui serangan terhadap tentara TNI, sabotase, bahkan aksi-aksi teror kepada penduduk di Jawa Barat. Dimana dalam hal ini diketahui bahwa Panji Gumilang merupakan seorang pemimpin dari NII usai masa revolusi berakhir.

Kita dapat lihat benang merah antara DI/TII pada masa Sekarmajdi Maridjan Kartosoewirjo hingga perkembangannya saat ini. Tepat di tahun 1948 silam, Kartosoewirjo bersama pasukannya memilih untuk menentang kedaulatan Republik Indonesia. Berbekal kemampuan tempur Tentara Islam Indonesia/TII, gerakan Darul Islam pun akhirnya mencoba menguasai wilayah Jawa Barat.

Kala itu memang Jawa Barat tengah berada dibawah kekuasaan Belanda. Sebagai salah satu dampak dari perundingan Renville, yang mengharuskan kantong gerilya Republik di wilayah Jawa Barat dikosongkan oleh TNI. Inilah celah yang akhirnya membuat DI/TII dapat berkembang dengan leluasa. Hijrah Divisi Siliwangi dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah adalah momen pendeklarasian NII.

Deklarasi Proklamasi Kemerdekaan NII pada bulan Agustus 1949 yang dikumandangkan oleh Kartosoewirjo, merupakan cikal bakal meluasnya gerakan DI/TII di berbagai daerah. Seperti di Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, hingga Sulawesi Selatan. Semua pendukung Kartosoewirjo mendeklarasikan dirinya sebagai bagian dari NII Jawa Barat.

Namun semuanya berakhir, kala pemerintahan Orde Lama memutuskan untuk menindak pemberontakan DI/TII dengan tegas. Melalui berbagai aksi militer, yang menyebabkan banyak diantara pemimpinnya harus menghadapi hukuman mati. Dimana usai mereda, pada masa pemerintahan Orde Baru, gerakan DI/TII atau NII diketahui masih berkembang secara sembunyi-sembunyi.

Baik sejak masa Orde Baru hingga Reformasi, gerakan NII mulai memberi identifikasi bagi kelompoknya sesuai wilayah, yakni berupa pembagian Komandemen Wilayah (KW) dari 1 hingga 9. KW 1 di Priangan Utara, KW 2 di Jawa Tengah, KW 3 di Jawa Timur, KW 4 di Kalimantan, KW 5 di Sulawesi, KW 6 di Aceh, KW 7 di Priangan Selatan, KW 8 di Lampung, dan KW 9 di Jabodetabek.

NII KW 9 inilah yang kemudian memusatkan dirinya di Ma'had Al Zaytun, Indramayu, Jawa Barat. Tepatnya sejak Adah Jaelani, selaku Imam Besar NII membai'at Abu Toto alias Panji Gumilang sebagai penerusnya. Dimana keputusan tersebut konon mendapatkan aksi penentangan dari para pemimpin NII lainnya, termasuk anak-anak dari Kartosoewirjo.

Sejak Panji Gumilang memimpin NII di Al Zaytun, pola gerakan mereka dapat dikatakan mulai berubah. Seperti fokus dalam aspek pendanaan yang menjadi kendala utama kala Panji Gumilang memimpin NII KW 9. Rekruitman kader juga lebih mengarah kepada persoalan biaya perjuangan, yang dijadikan modal mengembangkan Al Zaytun, dengan pola-pola kontroversialnya.

Ditambah dengan ajaran yang dianggap telah menyimpang dari Islam, serta berbagai persoalan yang memicu konflik sosial menjadi mengemuka. Inilah kiranya selayang pandang, sejarah DI/TII hingga NII KW 9 dapat dikisahkan secara ringkas. Penyimpangan atas ajaran Islam tentu tidak dapat ditolerir sebagai unsur yang tidak tersentuh dalam upaya menegakkan hukum.

Semoga bermanfaat, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun