Faktual, ekskalasi politik antar parpol koalisi dalam mengoyang dominasi politik partai sentral tengah ramai dengan hadirnya poros keempat. Kiranya kehadiran Airlangga Hartarto dalam bursa capres yang diusung oleh partai Golkar, membuat peta pemilu semakin berkembang. Artinya semua kandidat memiliki peluang besar untuk masuk berkompetisi dalam putaran kedua.
Lain halnya dengan tiga capres yang telah digadang-gadang sejak awal perhelatan pemilu dimulai. Beserta partai-partai pendukung yang memang sudah melakukan sosialisasi secara masif. Khususnya di area publik, dengan ragam strategi yang diterapkan masing-masing parpol. Tidak luput dengan upaya poros keempat dalam mengusung jagoannya pada perhelatan pemilu 2024 mendatang.
Kiranya kehadiran poros keempat dapat dijadikan alternatif politik yang lebih komprehensif. Dengan muatan-muatan komunikasi politik, dalam menentukan keberlangsungan partai-partai dalam koalisi 2024. Tak ayal, manuver partai Golkar yang menginisiasi lahirnya poros keempat, mendapatkan dukungan secara politis dari partai-partai non koalisi ataupun partai besar.
Ada sekitar 4 partai selain dari partai yang diketahui telah berkoalisi, belum menentukan arah politiknya. Seperti partai Gelora, PKN, Garuda, dan Buruh (yang masih belum memutuskan secara resmi). Tentu bersama dengan partai Golkar, yang konon telah membuka komunikasi dengan partai koalisi lain, seperti Partai Amanat Nasional (PAN).
Mengenai proyeksi kehadiran koalisi keempat ini kiranya telah dikemukakan oleh Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini, beberapa waktu lalu. Dengan analisis besaran elektabilitas partai-partai tersebut (Golkar dan PAN) bersama partai-partai lain yang belum memberikan arah politiknya, untuk dapat membangun koalisi alternatif.
Manuver politik partai Golkar bersama PAN ini tentu membuat Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang dimotori partai Gerindra menjadi "galau". Komunikasi politik yang telah dibangun sebelumnya, seolah gugur dengan sendirinya. Lantaran peluang hadirnya poros keempat sudah semakin nyata didepan mata, seiring masifnya kampanye PAN di ruang publik.
Namun, apakah Airlangga Hartarto akan dapat dipastikan berduet dengan Zulkifli Hasan, selaku Ketum PAN? Jika dalam beberapa waktu kedepan, penetapan (deklarasi) capres dan cawapres belum juga mengemuka, tentu hal ini dapat terwujud. Dalam hal ini partai Golkar dan PAN tidak akan menjadi partai "pengekor" seiring elektabilitas partai yang konsisten naik dimata publik (konstituen).
Jika menggunakan data (Litbang Kompas) per bulan Mei 2023, partai Golkar diketahui memiliki elektabilitas sebesar 7,3 persen. Sedangkan PAN memiliki elektabilitas sebesar 3,2 persen. Jadi, antara partai Golkar dengan PAN kiranya harus bekerja keras jika hendak mengusung capres atau cawapres yang dapat diajukan sesuai dengan mekanisme threshold pemilu, sebesar 20 persen.
Beberapa peluang tentu saja masih terbuka, seiring belum ditentukannya siapa cawapres yang akan digadang-gadang bersama calon yang sudah ditetapkan maju dalam bursa. Walau partai Golkar memiliki kader yang potensial dimata publik, seperti Ridwan Kamil. Namun, keputusan partai kiranya adalah mekanisme yang harus ditaati oleh para kadernya.
Walau secara signifikan, Ridwan Kamil adalah sosok yang sanggup membawa elektoral partai Golkar semakin meningkat dimata publik. Kita tidak akan lihat skala politik secara individual, melainkan melalui ketetapan politis antar partai yang saling berebut koalisi 2024, untuk memantapkan langkah politiknya.