Sangat disayangkan, itulah kalimat yang jadi penghantar pada tulisan ini. Khusus kepada seorang sosok seniman sekaligus budayawan Tanah Air yang seharusnya mendapatkan tempat terbaiknya di masyarakat. Namun kali ini bukan lagi apresiasi secara positif, lantaran dianggap sudah menggadaikan idealisme sebagai seorang seniman melalui keterlibatannya di panggung politik.
Inilah mengapa sejak dahulu, para seniman yang terlibat dengan politik praktis selalu menuai berbagai kecaman. Lantaran dianggap sudah menihilkan makna kemerdekaan dalam konsep seni dan budaya. Terlebih ketika seniman tersebut, turut serta secara aktif mambawa kepentingan politik, guna disampaikan kepada masyarakat yang berbudaya.
Ini semacam polemik identitas bangsa yang justru tergerus dari lingkup budaya dalam perspektif kepentingan. Seniman yang sejatinya memiliki ruang terbuka bagi kritik sosial ataupun realitas kebangsaan, sudah tidak lagi dapat diharapkan. Kita tentu kenal peristiwa konflik antar seniman di tahun 1965 silam. Begitupula kala memasuki era gerakan mahasiswa pada tahun 70 dan 90an.
Ada perbedaan yang justru menjadikan ambiguitas persepsi di kalangan masyarakat. Apalagi seniman tersebut mendapatkan tempat khusus dengan level budayawan. Tentu hal tersebut menjadikannya memiliki identitas sosial tinggi pada locus masyarakat tradisional. Namun, secara skeptis memberi tendensi negatif pada masyarakat yang memiliki pola pokir dan karakter modernis.
Dua aspek yang berbeda, namun memberi dampak secara politis bagi siapapun yang berhasil menggaet para seniman atau budayawan. Untuk terlibat secara langsung pada panggung politik yang pragmatis. Inilah kiranya, mengapa banyak artis (seniman) yang kini aktif terlibat bersama berbagai partai politik Tanah Air.
Termasuk terhadap para budayawan, yang juga memilih terjun ke dunia politik. Lantas, bagaimana dengan nasib masyarakat, yang seharusnya dapat tercerahkan melalui eksistensi para budayawan tersebut? Jawabannya, ya tentu saja dirugikan. Karena animo publik dapat bergeser secara keras.
Kita tidak dapat prediksi secara pasti, bagaimana dan apa yang menjadi latar belakang para seniman atau bahkan budayawan memilih untuk aktif di panggung politik. Tak luput dengan memberi ruang terbuka bagi area kritik yang membangun, layaknya para budayawan yang masih konsisten di panggung rakyat.
Walaupun tugas dan tanggung jawab para seniman dan budayawan tidak sama dengan tugas kaum intelektual. Namun, dalam tujuan membangun kesadaran kritis bangsa tentu sudah menjadi tanggung jawab sosial yang diembannya. Dalam area kesadaran kritis, jika tidak diimbangi dengan perilaku budaya, maka tidak akan terjadi sebuah kesadaran rasional bagi sebuah komunitas masyarakat.
Kita dapat pinjam kalimat yang dikemukakan oleh W.S. Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong. Dengan narasi skeptis terhadap "para penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan berada disampingnya...". Inilah dasar argumentasi, betapa para seniman dan budayawan seharusnya memiliki tempat terbaik ditengah kondisi sosial masyarakat.
Bahkan Rendra melanjutkannya dengan narasi yang menohok, "apalah artinya kesenian, bila terlepas dari derita lingkungan". Apalagi jika narasi seni dikemukakan untuk memberi dukungan politik dan atau menyerang lawan politik. Sungguh betapa telah hancurnya idealisme dari para seniman dan budayawan dalam status kemerdekaannya saat ini.
Khususnya bagi para budayawan, yang seharusnya dapat bersikap netral dan bijak, dalat konstelasi politik yang makin menghangat. Apalagi jelang gelaran Pemilu tiba. Dimana area kampanye positif, sudah seharusnya menjadi area edukasi bagi masyarakat, dalam membangun trust terhadap para calon (capres/cawapres) ataupun wakil rakyatnya kelak.
Semoga bermanfaat, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H