Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Area Konservasi Berhadapan dengan Industri Ekstraktif

29 Juni 2023   06:00 Diperbarui: 29 Juni 2023   06:15 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan Tumpang Pitu, Kab. Banyuwangi (sumber: dokpri)

Persoalan industri ekstraktif kerap menuai berbagai polemik di berbagai daerah. Hal ini terjadi lantaran industri ekstraktif adalah suatu bentuk usaha eksploitasi alam yang ditujukan untuk mengambil sumber dayanya. Walau diperuntukkan guna kepentingan yang positif, dalam aspek ekonomis yang menguntungkan berbagai pihak.

Namun, potensi kerusakan alamlah yang kerap menghantui setiap eksploitasi alam dan dikatakan selalu mempengaruhi flora dan fauna pada lingkungan tersebut.

Dimana eksploitasi biasanya terjadi di area konservasi yang dilindungi keasrian dan kelestarian alamnya oleh Pemerintah. Inilah yang menjadi dilema bagi para investor atau pengusaha lokal dalam upaya mengembangkan industri ekstraktif. Khususnya bagi kepentingan ekonomi.

Jika merujuk pada aturan Pemerintah, kawasan konservasi ini meliputi; Taman Nasional, Suaka Margasatwa, Cagar Alam, hingga Area Konservasi Perairan. Dimana sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, menegaskan bahwa perlindungan flora dan fauna pada area konservasi merupakan hal utama.

Ditambahkan melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan, dimana penyelenggara perlindungan hutan dan konservasi alam harus memiliki tujuan bagi kelestarian alam. Baik fungsi lindungnya, konservasi, ataupun produksi dapat tercapai secara optimal dan lestari berkesinambungan.

Sebuah kebijakan yang realitasnya kerap menuai polemik dalam penerapannya. Tidak serta merta melihat dampak yang akan terjadi pada alam, lantaran area tersebut dianggap sangat menguntungkan demi investasi. Khususnya bagi eksploitasi sumber daya alam, yang sampai saat ini marak terjadi. Bukan hanya di daratan, pun di wilayah perairan, yang sempat ramai karena pertambangan pasir laut.

Kita tentu masih ingat, bagaimana kisah smelter nikel yang hendak dibangun di area konservasi alam Savana Bekol, Baluran, pada beberapa tahun silam.  Dalam hal ini, agenda tersebut tentu saja sangat merugikan eksistensi berbagai fauna alami yang ada di area tersebut. Belum lagi bayangan mengenai kerusakan lingkungan, sebagau akibat dari eksplorasi.

Jika di daratan, biasanya konflik sosial kerap terjadi dengan melibatkan berbagai pihak. Namun, jika di alam liar, apakah para hewan dan tumbuhan yang harus melakukan aksi penolakannya? Persoalan kerusakan lingkungan memang menjadi kekhawatiran yang begitu ramai diperbincangkan saat ini.

Hal ini tak ayal membuat berbagai pihak kerap melakukan kampanye pencegaham kerusakan area konservasi dari pengaruh industri ekstraktif. Walau untung rugi tentu ada kala terjadinya upaya saling menghegemoni. Apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan kebijakan Pemerintah atau publik.

Polemik yang kerap terjadi pun selalu memberi ruang untuk hadirnya beragam aksi ataupun kegiatan yang merugikan berbagai pihak. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang harusnya dapat jadi pedoman, dalam beberapa kasus, justru tidak dijadikan landasan hukum dalam setiap penerapannya di lapangan. Semisal kala polemik pabrik semen di Kendeng terjadi beberapa tahun silam.

Entah karena persoalan teknis di lapangan, ataupun krisis sosial, dalam konteks pro atau kontra sebuah kebijakan kala diterapkan. Secara positif, ruang dialog atau mediasi dapat menjadi prioritas utama dalam meredam gesekan yang terjadi. Namun secara negatif, biasanya terjadi aksi "pemaksaan" yang juga memberi kesan buruk dalam upaya penyelesaian konflik.

Semua harus dapat diakomodir demi keberpihakan dengan mengedepankan pendekatan yang humanis. Apalagi jika berkenaan dengan alam, yang jadi hajat hidup orang banyak. Jangan sampai industri ekstraktif justru membuat alam jadi semakin rusak, atau banyak dari berbagai lapisan masyarakat terdampak secara ekonomi dan sosialnya.

Kita tidak dapat persepsikan secara subjektif terkait persoalan kerusakan lingkungan yang terjadi. Walaupun ada upaya perbaikan lingkungan yang dilakukan oleh perusahan ekstraktif, khususnya dalam konteks pertambangan. Namun secara faktual, banyak pemberitaan yang justru memunculkan berbagai konflik sosial di area eksplorasi.

Kiranya ada ruang terbuka dalam upaya penyelesaian dengan win win solution, jika semua berpedoman melalui prinsip hajat hidup orang banyak. Pun terhadap aturan hukum dan adat yang berlaku di masyarakat tersebut, sesuai dengan Undang-Undang. Semoga bermanfaat, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun