Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Track Record Buruk Capres adalah Bencana Politis

25 Juni 2023   06:00 Diperbarui: 25 Juni 2023   06:22 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi capres (sumber: kompas.com/Andika Bayu Setyaji)

Selain berbagai sisi positif dari masing-masing calon Presiden (capres), tentu saja ada pula sisi negatif yang menjadi latar belakang dari masing-masing kandidat. Tak luput dari rekam jejak atau track record selama menjadi publik figure secara politis ataupun sosialnya. Hal inilah yang sering kali dijadikan bahan kampanye hitam dari masing-masing pendukung fanatiknya.

Dalam berbagai kasus yang berkaitan dengan upaya "penjegalan" para kandidat, biasanya berangkat dari sosialisasi latar belakang buruk ke area publik. Dengan harapan dapat membangun persepsi yang negatif, dimana hal itu dapat mempengaruhi opini publik terkait calon yang hendak dipilihnya.

Apalagi jika salah satu diantaranya (capres) memiliki pengalaman kelam ketika bersentuhan dengan rakyat, khususnya ketika menerapkan kebijakan publiknya.

Ini adalah horor bagi setiap kandidat, rekam jejak negatif selalu dibiaskan dengan berbagai narasi argumentasi yang menutup celah bagi kritik terhadap masing-masing calon. Semua memiliki potensi sama dalam upaya menjaga citra positif dari setiap kebijakan yang telah dibuatnya. Baik kala menjabat sebagai pejabat publik, ataupun kala berlaku sosial masyarakatnya.

Baik Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah, Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan, ataupun Anies Baswedan selaku mantan Gubernur DKI Jakarta. Tak luput juga Airlangga Hartarto, yang ada dalam ruang legislator (DPR), dengan kebijakan non populis melalui kritik terhadap kinerja politisnya. Dimana banyak celah untuk dapat dikembangkan sebagai wacana koreksi kebijakan.

Semua memiliki ruang terbuka dalam area kritik yang memberi sifat merugikan secara politis. Terlebih jika posisi "saling serang" juga dilancarkan secara terbuka oleh masing-masing pendukungnya. Inilah yang dapat memberi implikasi buruk di area konstituen secara masif. Apalagi jika semakin gencar terjadi, kala mendekati gelaran Pemilu tiba.

Tentu tidak akan ada lagi objektifitas demokratisasi dalam area diskusi yang dapat saling membangun. Kita hanya akan melihat, seperti Pemilu tahun 2019 , yang memberi dampak serius pada locus sosial masyarakat. Baik terhadap orientasi kelompok sosial, ataupun kelompok ekonomi yang lebih pragmatis. Semua seolah hanya menginginkan keuntungan dari konflik yang telah terjadi.

Berkaca pada peristiwa silam, ada banyak harapan yang sejatinya dapat diberikan terhadap masing-masing kandidat capres. Tidak melulu dalam area politik, melainkan harapan bagi masa depan bangsa, dengan jutaan nasib rakyat yang tergantung didalamnya. Ini kiranya yang menjadi kesepahaman bersama, narasi besar membangun bangsa, dan bukan membangun konflik antar sesama.

Perihal track record positif seharusnya dapat menjadi pengantar yang sedianya berkembang menjadi proyeksi positif dan membangun. Baik dalam perbaikan dan penyelesaian amanat rakyat yang diberikan melalui setiap suara konstituen pada Pemilu. Maka, kita akan dapat meminimalisir terjadinya berbagai aksi kampanye hitam yang menyesatkan. Khususnya terhadap masyarakat sosial.

Bukan semata mengikuti tren yang ada di realitas sekitar. Dalam membangun kecerdasan bersama untuk mengawal gelaran Pemilu secara positif. Terlebih jika berkaitan dengan buzzer, yang memiliki kepentingan khusus dalam area politik kemasyarakatan. Ini yang harus diwaspadai bersama. Wacana ketidakberpihakan, janganlah sampai berkembang menjadi wacana yang merugikan.

Ruang-ruang diskusi positif dan terbuka dengan orientasi visi atau misi, sudah selayaknya menjadi bentuk ruang demokrasi yang baik. Serta dapat dimanfaatkan dalam hal edukasi politik bagi rakyat secara cerdas dan mendidik. Jadi bukan bersumber dari perihal persoalan pribadi yang di eksploitasi menjadi wacana publik.

Memberi pemahaman positif bagi konstituen tentu menjadi modal penting bagi terselenggaranya Pemilu yang baik. Dengan memberi realitas politik yang membangun bagi bangsa dan negara sesuai prinsip demokratisasi. Khususnya untuk gelaran Pemilu 2024 yang akan datang. Semoga bermanfaat, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun