Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Horor Biaya Pendidikan Anak Kala Daftar Sekolah Tiba

24 Juni 2023   05:45 Diperbarui: 26 Juni 2023   19:45 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sekolah (sumber: Kompas.com/Pixabay)

Masa pendaftaran sekolah yang telah tiba, kerap membuat orang tua pusing dalam hal biaya. 

Belum lagi pikiran mengenai biaya sehari-hari untuk sekolah anak, yang selalu membebani jika ditambah jarak tempuh menuju sekolah. Hal ini lumrah terjadi, kala orang tua siswa hendak mendaftarkan anaknya untuk melanjutkan jenjang pendidikan.

Selain biaya yang mengawang-awang dalam pikiran, apalagi jika sekolah yang dituju adalah swasta. Nomor satu tentunya adalah persoalan tingginya biaya pendidikan anak. 

Walau tidak semua sekolah swasta menerapkan biaya tinggi dalam administrasinya. Namun yang biasa terpikirkan adalah perihal performa sekolah dalam kategori terbaik atau biasa. Hal ini jadi pilihan penting lainnya.

Harapan besar tentunya ada dari setiap orang tua, yang hendak menyekolahkan anaknya dengan baik. Tidak melulu menjadikan nilai positif atau negatif yang berkenaan dengan sekolah tujuan. 

Sebuah persepsi yang mayoritas terjadi di kalangan orang tua, jika telah mendapati batas akhir pendaftaran sekolah. Dimana saja bisa, asal dapat diterima.

Belum lagi sistem zonasi, yang memberi batasan bagi siswa lingkungan sekitar. Walau sistem zonasi ini selalu dikembangkan dengan fleksibel, yakni lintas zona. 

Jika memang masih banyak anak di suatu daerah yang belum mendapatkan sekolahnya. Hal ini seperti yang terjadi di Tulungagung, Jawa Timur. Jadi tidak hanya melalui jalur afirmasi, zona, prestasi, dan perihal kerja orang tuanya.

Namun, persoalan zonasi memang banyak menuai kritik di kalangan orang tua. Lantaran anaknya yang seharusnya diterima, justru tergeser oleh orang lain.  

Ini biasanya terjadi karena adanya tumpang tindih syarat yang ditetapkan. Seperti perihal zonasi yang konon lebih diprioritaskan daripada prestasi, seperti yang terjadi di sebuah sekolah menengah kawasan Jagir, Wonokromo, Surabaya.

Kembali kepada persoalan biaya pendidikan anak. Jika memang perihal jarak kerap menjadi kegelisahan orang tua, tentu memberi pengaruh pula pada biaya kebutuhan sehari-hari anaknya. 

Tidak sekedar ongkos kendaraan, uang jajan ataupun tugas-tugas sekolah yang harus mengeluarkan biaya juga harus dapat diperhitungkan sejak awal.

Diluar itu ada uang seragam atau kegiatan sekolah lain diluar pembelajaran, atau dalam hal ini menyangkut kebutuhan ekskul. 

Misal adalah futsal, walau telah disiapkan fasilitas berupa lapangan, perihal keperluan futsal kerap pula menjadi soal orang tua. Semua orang tua tentu ingin yang terbaik, dalam hal ini minimal sepatu futsal atau jersey dapat dialokasikan anggarannya.

Itu baru satu, belum lagi persoalan dukungan biaya bagi pengembangan pendidikan lainnya. Dalam hal ini adalah les atau kegiatan belajar di luar kelas. 

Pendidikan yang berjenjang hingga masuk ke area perguruan tinggi, kiranya jadi mimpi bagi setiap orang tua dalam upaya optimalisasi pendidikan bagi anaknya. Tak lain demi masa depan yang baik dan dapat membanggakan orang tua.

Inilah mengapa, setiap gelaran pendaftaran sekolah tiba, banyak orang tua yang pusing sendiri dalam menghadapinya. 

Walaupun telah banyak kebijakan pendukung pendidikan dari pemerintah, dalam upaya meringankan biaya pendidikan. Kita bisa sebut Kartu Indonesia Pintar, dan di Jakarta ada yang namanya Kartu Jakarta Pintar/Kartu Jakarta Pintar Plus.

Semua tentunya dapat dikembalikan kepada peran serta orang tua dalam memberi dukungan dan perhatian lebih bagi anak-anaknya. Walaupun kerap berbenturan dengan persoalan biaya pendidikan. 

Tidak semua orang tua memiliki tingkat ekonomi yang baik, dalam hal ini dapat menjadi catatan sendiri bagi pihak sekolah. Khususnya dalam memberi aksesibilitas bagi pemerataan pendidikan.

Namun, peran serta aparatur pemerintah kiranya juga dapat terlibat secara aktif dalam memberi arahan yang masif bagi orang tua. Baik melalui media elektronik ataupun pendampingan khusus secara langsung di lapangan. 

Jadi, tidak berkesan instruksionis saja, tanpa ada aksi regulatif dan realisasi taktis bagi orang tua yang hendak mengupayakan pendidikan bagi anaknya.

Tidak sekedar dibebankan kepada sekolah, jika sewaktu-waktu persoalan kebijakan pendaftaran menemui permasalahan di lapangan. 

Jika aksesibilitas dapat terbuka secara umum dan transparan, maka persoalan biaya pendidikan anak tentu dapat terurai dengan sendirinya. Semoga bermanfaat, dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun