Uang Kuliah Tunggal atau yang dikenal dengan UKT, seakan selalu menjadi "momok" bagi tiap mahasiswa di kampus negeri saat ini. Terlebih karena maraknya informasi mengenai kenaikan UKT, seiring kebijakan kampus sesuai dengan standar kebutuhannya. Tidak lain untuk pemerataan dalam pembiayaan, khususnya terkait subsidi silang untuk mahasiswa yang dikategorikan "kurang" mampu.
Namun, setiap kampus negeri memiliki besaran UKT yang berbeda-beda. Sesuai dengan kesanggupan pembiayaan kampus yang juga disubsidi oleh negara, bagi kebutuhan mahasiswanya. Sedangkan besaran UKT yang ditetapkan untuk setiap mahasiswa, biasanya berangkat dari kesanggupan pembiayaan kuliah dari orang tua/walinya.
Perihal UKT ini belakangan ramai mencuat dikalangan publik, usai BEM UI melayangkan protes terbukanya terhadap kebijakan UKT di kampusnya beberapa waktu lalu. Sebelumnya demikian, pada bulan Mei 2023 silam, di Universitas Islam Negeri Radin Intan, Lampung, demonstrasi menuntut penurunan UKT justru berakhir ricuh.
Besaran UKT di UI disebutkan mencapai 17,5 hingga 20 juta per semesternya. Khususnya bagi mahasiswa baru, yang rata-rata masuk melalui jalur SNBP tahun ini. Inilah yang menjadi dasar BEM UI melakukan advokasi bagi sekitar 800an mahasiswa yang keberatan dalam memenuhi kewajiban membayar UKT.
Pun seperti yang terjadi di berbagai kampus negeri lainnya, juga melayangkan protes yang serupa. Seperti yang terjadi beberapa waktu sebelumnya di UNSRI, UNY, UNBRAW, UGM, dll. Kiranya banyak yang melayangkan gugatan terhadap persoalan UKT, uang pengembangan institusi dan berbagai jenisnya. Walau banyak yang sudah diklarifikasi secara langsung oleh pihak kampusnya.
Apalagi disebutkan, selain persoalan UKT, masih ada pembiayaan lain diluar ketentuan, misalnya dalam seminar proposal dan sidang skripsi. Inilah kiranya yang banyak terjadi di berbagai kampus negeri, entah atas alasan apa besaran biaya tersebut dapat ditetapkan. Kisarannya pun terbilang 300 hingga 500 ribu bagi setiap mahasiswa, seperti yang terjadi di UIN Radin Intan, Lampung.
Lantas, apakah hal tersebut dapat dikatakan legal atau memang dapat diterapkan secara sepihak oleh masing-masing kampus? Hal ini dapat dilihat dari aturan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor 25, Tahun 2020, Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri, sebagai landasan hukum.
Tepatnya pada Pasal 10, yang menjelaskan secara rinci mengenai mekanisme dan sistem biaya bagi kampus negeri. Apalagi jika soal biaya tersebut berkaitan dengan mahasiswa yang tidak mampu. Jadi, tidak sekedar menyamaratakan bahwa semua mahasiswa dalam kategtori mampu. Bahkan pada poin pertama dijelaskan empat kategori dasar pungutan lain selain UKT.
Seperti bagi, Satu; mahasiswa asing, Dua; mahasiswa kelas internasional, Tiga; Mahasiswa yang melalui jalur kerjasama, dan/atau Empat; mahasiswa yang masuk melalui seleksi mandiri. Kiranya empat poin tersebut yang dapat dijadikan dasar pungutan lain selain UKT yang ditetapkan. Walau pada pasal selanjutnya tidak disebutkan secara tegas berapa besaran nominalnya.
Belum lagi perihal iuran sidang proposal, skripsi, bahkan wisuda yang marak dibicarakan. Hal ini bukanlah sebuah klausul esensial bagi setiap mahasiswa, dengan beban biaya yang dapat digeneralisasi. Atau bahkan kebijakan non akademis dalam memenuhi hak mahasiswa terhadap dosen mata kuliahnya. Inilah yang kerap disalahtafsirkan menjadi berbagai kegiatan yang dianggap merugikan.
Bahkan beberapa waktu silam, Komisi X DPR meminta kepada Kemendikbud untuk segera dilakukan evaluasi terkait kebijakan UKT ataupun persoalan keuangan lainnya. Tujuannya tentu saja agar tidak terjadi diskriminasi terhadap pemenuhan hak mahasiswa di lingkungan kampus. Khususnya bagi para mahasiswa yang kurang mampu, dalam memenuhi biaya kuliah.
Maka, diharapkan tidak ada lagi istilah "horor" terkait UKT bagi setiap mahasiswa yang masuk ke dalam perguruan tinggi negeri. Jangan sampai ada kisah serupa mahasiswi yang meninggal akibat memperjuangkan UKT. Terlebih jika semua orang tua dari para mahasiswa tidaklah sama dalam aspek finansialnya, walau akan tetap memperjuangkan biaya pendidikan anak dengan penuh tanggung jawab.
Semoga hal ini dapat segera terselesaikan dengan bijak, bagi segenap civitas akademika di lingkungan kampus. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H