Era digital kita ketahui memang memberi arti tersendiri bagi sendi-sendi kehidupan saat ini. Baik dari dampaknya secara positif atau negatif, dengan memberi ruang terbuka dalam mengekspresikan diri terhadap berbagai aspek dalam keseharian. Kiranya hal tersebut berlaku pula dalam dunia politik belakangan ini. Khususnya dalam tujuan politis demi mendapatkan dukungan publik secara digital.
Hitung-hitungan ini dapat menjadi pedoman dalam memproyeksikan agenda politis sesuai dengan harapan masyarakat. Khususnya dalam hitungan memperoleh suara yang dapat dianalisis melalui jumlah pengikut dari akun masing-masing kandidat. Konstituen yang artinya rakyat pemilih di era digital, tentu memiliki akses besar dalam memberi animo politisnya bagi masing-masing kandidat.
Apalagi jika konten-konten yang disajikan sesuai dan dapat mendapatkan perhatian khusus dari para pengikutnya. Bukan sekedar konten yang berkaitan dengan visi dan misi yang secara politis bernilai kampanye. Melainkan konten yang bernuansa kemanusiaan hingga kegiatan sehari-hari yang dianggap lebih mampu mendapat atensi positif dari kacamata publik.
Secara spesifik, diantara ketiga capres; Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, ataupun Anies Baswedan, memang memiliki pengikutnya masing-masing. Walau tidak menutup kemungkinan banyak pula pengikut diantara masing-masing capres sama. Dengan persepsi, mendapatkan persepsi secara kumulatif dari ketiga calon yang ada. Jadi, publik secara langsung memperhatikan semua capres.
Jika dilihat dari akun sosial media (Instagram) per bulan Juni 2023, Ganjar Pranowo diketahui memiliki pengikut sebanyak 5,6 juta. Sedangkan Prabowo Subianto memiliki pengikut sebanyak 5,4 juta. Serta Anies Baswedan memiliki pengikut sebanyak 5,9 juta. Dimana secara kalkulasi menempatkan Anies Baswedan sebagai pemenang sementara dukungan konstituen berbasis digital.
Walau terdapat ada kritik dalam pengkategorian para pengikut digital sesuai dengan validitas akun mereka. Apakah akun tersebut real atau hanya robot? Namun secara tersirat, jumlah angka secara tidak langsung dapat mempengaruhi pandangan publik terhadap para calon yang hendak dipilihnya. Ini baru melalui IG, belum melalui analisis pendukung via Facebook, ataupun Twitter.
Dapat kemudian kita tinjau dari jumlah konten yang dibuat oleh tim pendukung yang secara konsisten menjalankan sosial media sebagai area kampanye. Dimana Ganjar Pranowo diketahui memiliki postingan sebanyak 7.077 konten, Anies Baswedan sebanyak 4.451 konten, serta Prabowo Subianto dengan 810 konten.
Dimana sesuai data We Are Social dari Inggris, para pengguna IG di Indonesia menempati posisi tinggi diatas Facebook dan Twitter.
Maka melalui perhitungan tersebut sudah terlihat dengan jelas, siapa yang paling gencar membuat konten demi mendulang suara netizen. Namun, apakah upaya mendulang suara melalui media sosial dapat menjadi jaminan mendapatkan suara secara realistis di lapangan? Jawabnya adalah belum tentu.
Hal tersebut tentu dapat dianalisis melalui dua faktor penyebabnya, pertama adalah diantara para kandidat capres belum secara resmi memilih cawapres yang akan digaetnya. Kedua adalah publik kini telah berpikir cerdas, dalam melihat realitas politik yang kelak akan terus berkembang seiring gelaran Pemilu akan dilaksanakan.
Melalui dua faktor tersebutlah kemudian dapat dijadikan catatan, sebelum penetapan siapa capres ataupun cawapres dari masing-masing partai pengusungnya. Selanjutnya adalah track record, yang seringkali mengemuka seiring komunikasi politik beberapa waktu kedepan. Apalagi ada dua kandidat yang masih aktif menjabat pada jabatan tertentu.
Dimana ada satu platform sosial media berbasis chat (whatsapp), yang memiliki rating penggunaan tertinggi, selain media digital diatas. Lantaran dapat diakses dengan murah oleh berbagai lapisan masyarakat. Dengan proyeksi chatting campaign yang dapat secara masif dapat dijadikan sarana penyebaran portofolio masing-masing kandidat tanpa harus merogoh kuota berlebih.
Publik tentunya akan turut menganalisa kebijakan publik dari para kandidat terhadap tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Melalui analisis yang positif demi masa depan bangsa dikemudian hari. Misal dari sosok Prabowo Subianto, yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah.
Namun, persepsi sedikit berbeda terhadap Anies Baswedan, yang kerap terpublikasi dalam kebijakan publiknya kala menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu silam. Jadi rekam jejak dari masing-masing kandidat sudah barang tentu dapat menjadi wacana publik yang terus bergulir dan semakin besar melalui berbagai media sosial yang ada.
Seiring media massa mempublikasikan para kandidat sebagai karakter yang positif atau negatif, demi calon pemimpin bangsa dimasa datang. Kita tidak pungkiri bagaimana peran media sangat besar dalam membentuk opini publik. Tinggal bagaimana secara merdeka para calon pemilih dapat menentukan siapa yang terbaik diantara ketiga kontestan tersebut.
Baik dalam memahami dan memilah apa itu kampanye hitam ataupun money politic yang dapat mencederai gelaran Pemilu kelak secara bijak. Semoga bermanfaat, dan terima kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI