Hal ini tentu bukanlah persoalan mentalitas sosial (rakyat), melainkan faktor identifikasi berlebihan yang menjadi alasan utama keberlangsungan kemelaratan sosial. Rakyat seakan segan menemui para pejabat atau aparatur negara dengan tampilan hedon yang identik dengan status ekonominya. Bukan dalam arti tidak peduli, melainkan faktor kebijaksanaan yang seharusnya berlaku terbuka.
Apalagi realitasnya, oknum pejabat publik yang gemar flexing justru terjadi di daerah-daerah yang tingkat kesejahteraan ekonomi penduduknya rendah. Pada kesempatan ini juga dapat disampaikan, bahwa telah terjadi peningkatan kemiskinan secara bertahap (sedikit demi sedikit), khususnya di Jawa dengan porsentase sekitar 13,94 juta jiwa dalam status miskin.
Berangkat dari persoalan diatas, seyogyanya ulasan ini dapat menjadi pemantik terjadinya perubahan sistemik yang bekaitan dengan gaya hidup. Jadi bukan sekedar mengikuti himbauan dari Pemerintah Pusat, melainkan kesadaran diri dalam tugasnya sebagai aktor pengayom masyarakat. Semoga bermanfaat, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H