Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Jika Rokok Dianggap Psikotropika

4 Juni 2023   06:15 Diperbarui: 4 Juni 2023   06:26 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perihal rencana penetapan rokok sebagai bagian dari zat psikotropika pada RUU Kesehatan, tentu membuat berbagai kalangan bertanya. Ada tujuan apa dari usulan yang dianggap membahayakan perekonomian bangsa ini? Apalagi kita ketahui banyak daerah yang bergantung pada industri rokok.

Baik bagi karyawan pabrik rokok, maupun petani tembakau, yang dapat dikatakan akan terancam secara ekonomi. Dimana hal Ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk diurai, melalui pendekatan sosial dan ekonomi. Walau secara medis, tentu kita pun tahu bahwa rokok tidak baik untuk kesehatan.

Dua aspek yang nampaknya tidak dapat disatukan dengan cepat. Secepat rumusan RUU Kesehatan diusulkan. Banyak aspek yang harus diperhatikan. Khususnya perihal penetapan tembakau sebagai barang "terlarang" untuk digunakan. Apalagi diracik dengan tujuan herbal ada aturan yang mengikat jika hal tersebut dijadikan alternatifnya. Begitulah kira-kira RUU Kesahatan menegaskan rokok sebagai barang yang dilarang.

Tepatnya pada RUU Kes Pasal 154 Ayat 3, yang menegaskan bahwa rokok adalah zat berbahaya. Dimana kandungan yang ada di dalamnya dapat menimbulkan rasa kecanduan. Ini kiranya patut ditelaah lebih jauh, baik dalam status aturan pemakaian ataupun penggunaan. Bukan lantas disejajarkan dengan narkotika. Apalagi jika dikaitkan dengan roda perekonomian bangsa, yang memiliki serapan cukai atas tembakau sebesar   198,02 Trilliun.

Itu hanya dari cukai tembakaunya saja, belum lagi pajak mengenai produksi dan distribusinya. Ditambah dari pajak yang dikeluarkan oleh buruh pabrik rokok. Dimana serapannya pun dapat dibilang sangat besar, yang sepadan dengan pembangunan sebuah kota. Kita dapat lihat Kudus dan Kediri, sebagai kota yang dapat berkembang dari industri rokok. Baik konvensional atau tradisional.

Jutaan buruh pabrik tentu memiliki ruang ekonominya masing-masing. Ini tentu berkaitan dengan pekerjaan yang jadi penopang hidup. Lantas, jika seluruh pabrik rokok konvensional ditutup, apakah sudah ada alternatif pekerjaan yang telah disiapkan oleh Pemerintah, ketika suatu saat nanti kebijakan tersebut direalisasikan?

Efek domino dari persoalan ini tentu dapat membuat kolaps sebuah kota, atau bahkan pendapatan negara berkurang drastis. Secara ekonomi memang riskan, namun secara kesehatan tentu memiliki kebaikan.

Layak buah simalakama, yang memiliki untung ruginya masing-masing. Namun, dari persoalan ini justru tampak fenomena lain yang berkembang menjadi pola sosial di masyarakat. Industri vape, yang konon dianggap sebagai alternatif pengganti rokok, akankah hadir sebagai varian "rokok" gaya baru?

Walau kita belum dapat berpendapat secara pasti atas ketetapan ini. Apakah telah ada bentuk monopoli atas kehadiran vape di tengah masyarakat? Atau memang kehadiran vape akan ditetapkan sebagai alternatif pengganti rokok? Tentu hal ini dapat menjadi pertanyaan umum di lapisan masyarakat. Khususnya masyarakat kelas bawah, yang sudah terbiasa dengan rokok konvensional dan tradisional. Apalagi jika dikaitkan dengan harganya yang jauh lebih murah.

Bahkan sebagian lagi apatis terhadap rencana penetapan rokok sebagai bagian dari psikotropika. Akankah masuk dalam kategori kejahatan berat atau ringan, dalam status hukumannya? Apalagi jika kedapatan memakai dan mengedarkan. Tentu akan semakin bias persepsi bukan?

Mengkategorikan rokok sebagai narkotika sudah barang tentu membuat gelisah para penikmat rokok konvensional ataupun tradisional. Apalagi dalam RUU tersebut tidak dirinci secara spesifik antara rokok konvensional atau tradisional.

Belum lagi jika rokok (kaung) tradisional ala kaum petani juga dikategorikan sama. Pasti ada tingkah laku sosial yang berubah, dan rentan akan konflik. Kita tidak akan sentuh area rokok impor yang juga masuk dalam pasaran tanah air. 

Dimana hal tersebut tentu memiliki keuntungan lebih bagi ekonomi negara. Bahkan sejarah Indonesia telah mencatat pemakaian rokok dikatakan telah terjadi sejak abad ke 16. Ini sesuai fakta yang dicatat oleh Raffles dalam History of Java. Dimana dijelaskan bahwa orang pribumi tidak dapat lepas dari rokok ketika melakukan aktivitas kerja.

Catatan lainnya ada pada naskah Babad ing Sangkala, tertulis pada masa Mataram dengan tahun 1601 masehi. Bahwa kala itu disebutkan bahwa tembakau telah masuk ke Nusantara sebagai hasil perdagangan dunia. 

Dari beberapa sumber yang telah diterangkan, maka dapat dijelaskan bahwa rokok tidak dapat dipisahkan dari laku kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bahkan sejak dahulu kala, sebelum era rokok industri berkembang di Jawa.

Apalagi pada saat ini, arus pergeseran rokok tradisional menjadi rokok elektrik tentu akan mempengaruhi pola sosial yang telah ada. Walau tidak dapat lepas dari unsur ekonomi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka, tak heran jika beberapa waktu lalu berbagai ormas dan organisasi juga melayangkan protes terhadap RUU Kes ini. Khususnya bagi petani tembakau, yang akan terdampak secara luas. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun