Konstelasi Pemilu kedepan mungkin akan semakin menarik dalam prosesi pelaksanaannya. Selain dikarenakan memang menjadi arena adu dan unjuk kekuatan antar pendukung yang berawal dari kepentingan pemenangan partai. Dapat dikatakan bahwa semuanya juga berkaitan dengan upaya dari seluruh partai, untuk mendominasi perolehan suara terhadap calon yang diusungnya.
Baik melalui jalur kampanye resmi, berbasis digital, atau bahkan kampanye hitam. Tak luput juga perihal utak-atik mekanisme Pemilu yang dapat diproses dan ditetapkan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana ada ketetapan mengenai presidential thershold dan parliamentary threshold yang menjadi ketentuan dalam prosesi Pemilu.
Secara ringkas pengertian threshold adalah ambang batas suara dari setiap kandidat yang maju sebagai Capres (eksekutif) ataupun Caleg (legislatif). Nah, ketentuan inilah yang kerap diuji materiilkan melalui MK pada setiap gugatan jelang Pemilu. Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan pada Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Tentang Pemilhan Umum.
Lantas, apa yang dimaksud dengan presidential threshold dan parliamentary threshold? Berikut penjelasannya.
Presidential Threshold, dapat diterangkan sebagai ketetapan mengenai ambang batas suara dari masing-masing partai pendukung Capres. Yakni dari sistem keterwakilan, atau perwakilan partai politik yang ada di dalam parlemen. Selain ketentuan mendapat sekitar 25 persen suara sah secara nasional dalam Pemilu sebelumnya.
Jadi, total suara dari perwakilan partai politik di parlemen sangat menentukan bagi calon yang hendak diusung. Semisal, jika sesuai UU dengan ketetapan 20 persen, maka harus ada sekitar 20 persen kursi di parlemen sebagai syarat untuk dapat mengajukan calon Presiden dari partai, baik secara mandiri atau koalisi.
Semakin besar partai penguasa parlemen, maka semakin mudah peluang untuk lolos dari sistem presidential threshold ini. Maka, biasanya akan ada koalisi dari partai-partai kecil yang tidak memiliki jumlah kursi secara signifikan. Hal ini kiranya dapat memberi kita gambaran, bagaimana sistem komunikasi politik dapat terjadi kemudian.
Baik dalam politik transaksional ataupun transformasional, tergantung siapa dan darimana calon yang telah ditetapkan. Terlebih jika calon yang tidak masuk dan aktif dalam partai tertentu. Kiranya ada ketentuan sendiri yang ditetapkan oleh partai-partai pengusung hingga sesuai dan lolos dari ambang batas yang telah ditentukan.
Parliamentary Threshold, terkait dengan ambang batas suara di parlemen ini kiranya dapat menjadi penentu bagi para calon anggota dewan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Misalnya dengan ketentuan perolehan suara sebesar 4 persen secara nasional. Maka, setiap partai politik kontestan Pemilu wajib mendapatkan sekitar 4 persen suara secara nasional.
Jika tidak dapat melampaui batas yang telah ditetapkan, tentu tidak akan ada calon anggota legislatif yang dapat masuk ke parlemen. Hal ini menjadi syarat utama dalam pemberlakuan sistem ambang batas suara. Partai yang mendapatkan suara dibawah 4 persen, tidak akan mendapat jatah kursi di parlemen.
Kewajiban lain bagi para partai dalam mekanisme ini juga berkaitan dengan kepengurusannya di setiap daerah/provinsi. Hal ini tentu menjadi sumber utama perolehan suara dari masing-masing daerah bagi partai yang notabene akan mengusung para wakilnya secara politis. Baik terhadap calon eksekutif ataupun legislatif.
Nah, disinilah letak hubungan antara sistem presidential threshold dengan parliamentary threshold terjadi. Secara politis, mekanisme ini memang saling berkaitan, karena melalui perolehan jumlah kursi di parlemen, maka akan berpeluang besar dalam pencalonan calon Presiden. Sesuai dengan aturan dan mekanisme yang ditetapkan pada Pemilu.
...
Walau kerap disinggung banyak kekurangan, dalam proses demokratisasi. Kedua sistem ini tetap menjadi ketentuan dasar bagi para kontestan Pemilu. Selama masih diberlakukan sesuai hukum yang berlaku. Apalagi jika dikaitkan dengan sistem proporsional terbuka atau tertutup pada prosesi pemilihan bagi setiap calon anggota dewan. Tentu akan banyak tafsir politik yang akan mengemuka.
Semua ada sisi positif ataupun negatifnya. Seiring dengan perkembangan yang terjadi selama masa kampanye atau pra kampanye tiba. Dimana bukan justru menghalalkan segala cara demi kepentingan politik yang dapat mencederai demokrasi bangsa. Terlebih dalam menjaga suasana kondusif yang berkemajuan secara politis dalam memahami proses perjalanan Pemilu kita.
Kiranya demikan, salam hangat dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H